Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kerja Sosial bagi Koruptor

Kompas.com - 14/08/2008, 05:25 WIB

JAKARTA, KAMIS - Wacana penambahan hukuman kerja sosial - selain hukuman penjara - bagi para terpidana kasus korupsi mendapat dukungan kuat. Sanksi sosial untuk terpidana kasus korupsi perlu diperberat sebagai salah satu cara mendorong munculnya efek jera dan malu berbuat korupsi.

Dukungan setidaknya dilontarkan sejumlah pihak, seperti Ketua Badan Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Patra M Zen dan Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Danang Widoyoko, Rabu (13/8), saat dihubungi Kompas di tempat terpisah.

Hukuman tambahan kerja sosial, seperti pernah dilontarkan oleh guru besar pidana internasional Universitas Padjadjaran, Bandung, Romli Atmasasmita, telah diterapkan di Korea Selatan dan mulai dipelajari China.

”Bagus juga kalau ada hukuman seperti itu. Paling tidak supaya mereka (terpidana korupsi) bisa melihat langsung, misalnya, kondisi masyarakat miskin yang pastinya juga terimbas akibat ulah para koruptor,” ujar Danang.

Namun, katanya, penerapan hukuman tambahan kerja sosial hanya bisa dilakukan dengan terlebih dahulu merevisi aturan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan juga membentuk badan atau lembaga khusus untuk mengawasi kerja sosial itu.

Danang juga melihat ada peluang untuk memasukkan pasal tentang hukuman kerja sosial itu dalam revisi Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.

Dalam kesempatan berbeda, Patra melihat ada satu peluang lagi, selain mengubah aturan hukum positif (KUHP), untuk bisa memasukkan aturan hukuman kerja sosial itu. Caranya, dengan meminta fatwa dari Mahkamah Agung.

”Jadi, pilihannya kita bisa minta revisi aturan KUHP dan aturan tentang lembaga pemasyarakatan atau dengan meminta fatwa MA. Namun, tidak cuma itu, kita juga harus bisa memastikan infrastruktur pelaksanaan hukuman seperti itu juga sudah siap,” ujar Patra.

Perlu diperbanyak

Selain memperberat sanksi sosial, persepsi dalam melihat perkara korupsi pun harus diubah, yaitu dengan lebih melihat kepada rakyat yang menjadi korban, bukan koruptornya.

”Dengan demikian, jika ada terdakwa atau terpidana korupsi, perhatian utama bukan pada apakah seluruh martabatnya tetap dilindungi. Namun, bagaimana penderitaan yang harus ditanggung masyarakat, seperti kemiskinan dan kebodohan, yang diakibatkan oleh perbuatannya,” kata Bambang Widjojanto dari Partnership for Governance Reform di Jakarta, Rabu.

Saat melihat kasus korupsi, kata Bambang, masyarakat saat ini masih terlalu berorientasi pada pelaku korupsi. Kondisi masih diperparah oleh rendahnya hukuman untuk para koruptor dan banyaknya fasilitas yang mereka peroleh saat dipenjara. Akibatnya, korupsi terus saja terjadi meski penindakan telah dilakukan.

Sosiolog dari Universitas Indonesia, Tamrin Amal Tomagola, menuturkan, sanksi sosial ini akan amat efektif di lingkungan yang terbatas. Namun, dalam skala yang luas, efektivitas sanksi sosial seperti itu amat ditentukan oleh posisi tawar mereka yang terlibat korupsi. Jika masih punya kedudukan penting atau kekayaan yang besar, sanksi sosial ini cenderung tidak efektif.

Agar lebih efektif, kata Tamrin, perlu ditambah upaya lain, seperti mempermalukan koruptor dengan meminta mereka memakai baju khusus dan tidak memberikan berbagai kemudahan saat berada di penjara. Mereka harus diperlakukan seperti tahanan tindak pidana lainnya.

Guru besar emeritus Universitas Airlangga Soetandyo Wignyosoebroto menambahkan, langkah lain yang dibutuhkan adalah mereformasi seluruh sistem karena korupsi sudah menjadi bagian dari sistem.

”Ibarat memberantas penyakit demam berdarah, penindakan yang dilakukan oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) selama ini seperti memburu nyamuknya. Ini penting, tetapi belum cukup. Masih butuh upaya lain, seperti menjaga kebersihan lingkungan dan menciptakan pola hidup sehat,” katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Bamsoet Sebut Golkar Siapkan Karpet Merah jika Jokowi dan Gibran Ingin Gabung

Bamsoet Sebut Golkar Siapkan Karpet Merah jika Jokowi dan Gibran Ingin Gabung

Nasional
ICW Desak KPK Panggil Keluarga SYL, Usut Dugaan Terlibat Korupsi

ICW Desak KPK Panggil Keluarga SYL, Usut Dugaan Terlibat Korupsi

Nasional
Jokowi Masih Godok Susunan Anggota Pansel Capim KPK

Jokowi Masih Godok Susunan Anggota Pansel Capim KPK

Nasional
Bamsoet Ingin Bentuk Forum Pertemukan Prabowo dengan Presiden Sebelumnya

Bamsoet Ingin Bentuk Forum Pertemukan Prabowo dengan Presiden Sebelumnya

Nasional
Senyum Jokowi dan Puan saat Jumpa di 'Gala Dinner' KTT WWF

Senyum Jokowi dan Puan saat Jumpa di "Gala Dinner" KTT WWF

Nasional
ICW Minta MKD Tegur Hugua, Anggota DPR yang Minta 'Money Politics' Dilegalkan

ICW Minta MKD Tegur Hugua, Anggota DPR yang Minta "Money Politics" Dilegalkan

Nasional
Momen Jokowi Bertemu Puan sebelum 'Gala Dinner' WWF di Bali

Momen Jokowi Bertemu Puan sebelum "Gala Dinner" WWF di Bali

Nasional
Anak SYL Percantik Diri Diduga Pakai Uang Korupsi, Formappi: Wajah Buruk DPR

Anak SYL Percantik Diri Diduga Pakai Uang Korupsi, Formappi: Wajah Buruk DPR

Nasional
Vibes Sehat, Perwira Pertamina Healing dengan Berolahraga Lari

Vibes Sehat, Perwira Pertamina Healing dengan Berolahraga Lari

Nasional
Nyalakan Semangat Wirausaha Purna PMI, Bank Mandiri Gelar Workshop “Bapak Asuh: Grow Your Business Now!”

Nyalakan Semangat Wirausaha Purna PMI, Bank Mandiri Gelar Workshop “Bapak Asuh: Grow Your Business Now!”

Nasional
Data ICW: Hanya 6 dari 791 Kasus Korupsi pada 2023 yang Diusut Pencucian Uangnya

Data ICW: Hanya 6 dari 791 Kasus Korupsi pada 2023 yang Diusut Pencucian Uangnya

Nasional
UKT Meroket, Anies Sebut Keluarga Kelas Menengah Paling Kesulitan

UKT Meroket, Anies Sebut Keluarga Kelas Menengah Paling Kesulitan

Nasional
Anies Ungkap Kekhawatirannya Mau Maju Pilkada: Pilpres Kemarin Baik-baik Nggak?

Anies Ungkap Kekhawatirannya Mau Maju Pilkada: Pilpres Kemarin Baik-baik Nggak?

Nasional
MKD DPR Diminta Panggil Putri SYL yang Diduga Terima Aliran Dana

MKD DPR Diminta Panggil Putri SYL yang Diduga Terima Aliran Dana

Nasional
Kemenag: Jemaah Umrah Harus Tinggalkan Saudi Sebelum 6 Juni 2024

Kemenag: Jemaah Umrah Harus Tinggalkan Saudi Sebelum 6 Juni 2024

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com