Salin Artikel

Kekisruhan Sirekap KPU dan Tanda Tanya Besaran Anggaran...

JAKARTA, KOMPAS.com - Anggaran Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) milik Komisi Pemilihan Umum (KPU) kembali dipertanyakan. Ini menyusul polemik penghentian tayangan grafik atau diagram rekapitulasi perolehan suara Pemilu 2024 dalam Sirekap di situs pemilu2024.kpu.go.id baru-baru ini.

Koordinator Komite Pemilih Indonesia (Tepi) Jeirry Sumampow mendorong KPU untuk membuka besaran anggaran Sirekap ke publik. Pasalnya, sampai saat ini KPU tak pernah memerinci anggaran yang digunakan untuk sistem informasi tersebut.

“Publik itu wajib menuntut berapa anggaran yang dialokasikan untuk itu dan KPU harus terbuka,” kata Jeirry kepada Kompas.com, Jumat (8/3/2024).

Jeirry bilang, keterbukaan anggaran penting untuk mendudukan sumber persoalan Sirekap. Bisa jadi, masalah berulang yang terjadi pada Sirekap disebabkan karena cekaknya anggaran.

Namun, jika ternyata alokasi anggaran Sirekap sudah memadai, bisa jadi persoalan sistem informasi tersebut terletak pada kurang siapnya teknologi atau ketidakmampuan sumber daya manusia (SDM) yang menangani.

“Kepentingan transparansi itu juga untuk mendudukan persoalan itu secara lebih profesional, supaya orang tidak menghakimi atas dasar sesuatu yang memang kurang,” ujar Jeirry.

Terlepas dari berapa pun anggaran yang diperuntukkan buat Sirekap, Jeirry menyebutkan, KPU harus bertanggung jawab. Sebab, Sirekap menggunakan uang negara, teknologi tersebut harusnya difungsikan sebagaimana peruntukannya.

Pada dasarnya, Sirekap dibuat sebagai bentuk transparansi rekapitulasi hasil pemilu untuk masyarakat. Sirekap mestinya menjadi alat bantu untuk publik mengetahui gambaran rekapitulasi secara lebih cepat, lantaran rekapitulasi manual berjenjang membutuhkan waktu yang panjang.

Namun, sampai saat ini, data yang masuk ke Sirekap belum mencapai 80 persen. Padahal, proses rekapitulasi suara telah berlangsung lebih dari 3 minggu, terhitung sejak hari pemungutan suara 14 Februari 2024.

Jeirry menilai, wajar jika publik menyoal permasalahan Sirekap, mulai dari lambannya input data hingga kesalahan pembacaan data.

“Kalau Sirekap sudah tiga minggu data belum 100 persen padahal pakai teknologi digital mutakhir, saya kira sudah enggak layak, sudah gagal. Kita butuh Sirerkap itu untuk mendapatkan hasil cepat, ini enggak (tercapai),” ucap Jeirry.

Lebih lanjut, Jeirry menyebutkan, langkah KPU menghentikan grafik rekapitulasi Sirekap karena alasan tingginya kesalahan pembacaan data pun tak menyelesaikan persoalan.

Meski Sirekap tak akan menjadi dasar resmi penghitungan suara, ada anggaran yang mesti dipertanggungjawabkan KPU dalam penggunaan sistem informasi ini.

“KPU enggak bisa mengatakan ini Sirekap enggak berhasil, karena itu bukan mekanisme resmi jadi enggak apa-apa enggak berhasil, enggak bisa,” kata Jeirry.

“Kan ada anggaran negara dialokasikan untuk itu, enggak boleh dia tidak bertanggung jawab dalam kerangka itu. Ada penggunaan uang negara di sana, KPU terikat secara etik dan hukum dengan penggunaan uang negara,” tuturnya.

Tak transparan

Perihal transparansi anggaran Sirekap juga sempat menjadi sorotan beberapa waktu lalu, menyusul banyaknya kesalahan pembacaan data pada sistem informasi tersebut. Namun, KPU enggan buka-bukaan soal anggaran.

Kompas.com sempat bertanya kepada Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari mengenai biaya kerja sama pengadaan dan pengembangan Sirekap untuk Pemilu 2024 yang diteken bersama Institut Teknologi Bandung (ITB). Kompas.com juga bertanya soal kemungkinan adanya efisiensi sistem agar sesuai dengan anggaran yang dikerjasamakan dalam menyiapkan Sirekap.

Saat itu, Hasyim enggan membeberkan berapa jumlah anggaran untuk membuat dan mengembangkan Sirekap.

"Untuk biaya Sirekap, ini menggunakan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) untuk penyelenggaraan pemilu. Nanti akan dipertanggungjawabkan dalam bentuk laporan keuangan dan diaudit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)," ujar Hasyim dalam jumpa pers, Jumat (23/2/2024).

Sebelumnya, anggaran Sirekap telah lebih dulu mendapat sorotan dari Indonesia Corruption Watch (ICW).

Grafik disetop

Persoalan Sirekap bukan sekali saja terjadi. Terbaru, KPU memutuskan menghentikan penayangan grafik atau diagram rekapitulasi perolehan suara Pemilu 2024 dalam Sirekap.

Alasannya, tingginya tingkat kekeliruan pembacaan Sirekap terhadap formulir model C menyebabkan data perolehan suara tidak sesuai dengan hasil di tempat pemungutan suara (TPS) dan menimbulkan kesalahpahaman publik.

Adapun formulir model C merupakan catatan berita acara pemungutan dan penghitungan suara di TPS saat pemilu. Formulir itu memuat data perolehan suara pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres), partai politik, dan calon anggota legislatif (caleg).

"Ketika hasil pembacaan teknologi Sirekap tidak atau kurang akurat dan belum sempat diakurasi oleh uploader (KPPS) dan operator Sirekap KPU kabupaten/kota, hal itu akan jadi polemik dalam ruang publik yang memunculkan prasangka," kata anggota KPU RI, Idham Holik, kepada Kompas.com, Selasa (6/3/2024).

Meski begitu, bukan berarti KPU menutup akses publik untuk mendapatkan hasil penghitungan suara. KPU berjanji tetap mengunggah foto asli formulir C.Hasil plano dari TPS sebagai bukti autentik perolehan suara, sebagaimana yang selama ini berlangsung.

Fungsi utama Sirekap, kata Idham, sejak awal memang sebagai sarana transparansi hasil pemungutan suara di TPS, di mana publik bisa melihat langsung hasil suara setiap TPS di seluruh Indonesia melalui unggahan foto asli formulir model C.Hasil plano di Sirekap.

"Sirekap fokus ke tampilan foto formulir model C.Hasil saja, tanpa menampilkan kembali data numerik hasil tabulasi sementara perolehan suara peserta pemilu hasil pembacaan foto formulir model C.Hasil plano," tegas Idham.

KPU pun mengaku tengah fokus melakukan rekapitulasi suara manual berjenjang dari tingkat kecamatan, kota/kabupaten, provinsi, hingga pusat untuk penetepan hasil resmi pemilu. Adapun angka yang tertera di Sirekap, baik itu akurat maupun tidak, hanya sebagai transparansi informasi dan bukan hasil resmi.

https://nasional.kompas.com/read/2024/03/08/13570241/kekisruhan-sirekap-kpu-dan-tanda-tanya-besaran-anggaran

Terkini Lainnya

Jokowi Tak Diundang ke Rakernas PDI-P, Pramono Anung: Tanya ke DPP Sana...

Jokowi Tak Diundang ke Rakernas PDI-P, Pramono Anung: Tanya ke DPP Sana...

Nasional
Pimpinan MPR Temui Jusuf Kalla untuk Bincang Kebangsaan

Pimpinan MPR Temui Jusuf Kalla untuk Bincang Kebangsaan

Nasional
Kemenkes: Subvarian yang Sebabkan Lonjakan Kasus Covid-19 di Singapura, Belum Ada di Indonesia

Kemenkes: Subvarian yang Sebabkan Lonjakan Kasus Covid-19 di Singapura, Belum Ada di Indonesia

Nasional
Sri Mulyani Cermati Dampak Kematian Presiden Iran terhadap Ekonomi RI

Sri Mulyani Cermati Dampak Kematian Presiden Iran terhadap Ekonomi RI

Nasional
Menteri ATR/Kepala BPN Serahkan 356 Sertifikat Tanah Elektronik untuk Pemda dan Warga Bali

Menteri ATR/Kepala BPN Serahkan 356 Sertifikat Tanah Elektronik untuk Pemda dan Warga Bali

Nasional
Pernah Dukung Anies di Pilkada DKI 2017, Gerindra: Itu Sejarah, Ini Sejarah Baru

Pernah Dukung Anies di Pilkada DKI 2017, Gerindra: Itu Sejarah, Ini Sejarah Baru

Nasional
Pemerintah Akan Evaluasi Subsidi Energi, Harga BBM Berpotensi Naik?

Pemerintah Akan Evaluasi Subsidi Energi, Harga BBM Berpotensi Naik?

Nasional
MK Tolak Gugatan Anggota DPR Fraksi PAN ke 'Crazy Rich Surabaya'

MK Tolak Gugatan Anggota DPR Fraksi PAN ke "Crazy Rich Surabaya"

Nasional
Wapres Harap Ekonomi dan Keuangan Syariah Terus Dibumikan

Wapres Harap Ekonomi dan Keuangan Syariah Terus Dibumikan

Nasional
Wapres Sebut Kuliah Penting, tapi Tak Semua Orang Harus Masuk Perguruan Tinggi

Wapres Sebut Kuliah Penting, tapi Tak Semua Orang Harus Masuk Perguruan Tinggi

Nasional
BNPB: 2 Provinsi dalam Masa Tanggap Darurat Banjir dan Tanah Longsor

BNPB: 2 Provinsi dalam Masa Tanggap Darurat Banjir dan Tanah Longsor

Nasional
Pimpinan KPK Alexander Marwata Sudah Dimintai Keterangan Bareskrim soal Laporan Ghufron

Pimpinan KPK Alexander Marwata Sudah Dimintai Keterangan Bareskrim soal Laporan Ghufron

Nasional
Drama Nurul Ghufron Vs Dewas KPK dan Keberanian Para 'Sesepuh'

Drama Nurul Ghufron Vs Dewas KPK dan Keberanian Para "Sesepuh"

Nasional
Di Hadapan Jokowi, Kepala BPKP Sebut Telah Selamatkan Uang Negara Rp 78,68 Triliun

Di Hadapan Jokowi, Kepala BPKP Sebut Telah Selamatkan Uang Negara Rp 78,68 Triliun

Nasional
Hadapi Laporan Nurul Ghufron, Dewas KPK: Kami Melaksanakan Tugas

Hadapi Laporan Nurul Ghufron, Dewas KPK: Kami Melaksanakan Tugas

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke