Nawawi lantas meminta semua pihak mengingat keberadaan Undang-Undang (UU) Nomor 28 tahun 1999 yang melarang tidak hanya korupsi, melainkan kolusi, nepotisme, dan konflik kepentingan.
“Ada penyakit-penyakit itu, korupsi, kolusi, nepotisme, dan konflik kepentingan yang sekarang marak. Sekarang orang mau mundur saja cari waktu yang tepat,” ujar Nawawi di saat berbincang dengan Kompas.com di Menara KOMPAS, Jakarta Barat, Selasa (30/1/2024).
Menurut Nawawi, seharusnya seseorang mengundurkan diri bukan mencari di waktu yang tepat melainkan ketika menyadari adanya potensi benturan kepentingan.
Dia kemudian menceritakan sosok jenderal polisi Hoegeng Imam Santoso yang menurutnya tepat disebut sebagai percontohan dalam menghindari konflik kepentingan.
Ketika Hoegeng dimutasi dari Medan ke Jakarta untuk menduduki Kepala Jawatan Imigrasi atau Direktur Jenderal Imigrasi, dia meminta toko bunga milik istrinya ditutup meskipun usaha itu laris.
Sang istri pun sangat memahami perintah dari suaminya tersebut dan menutup toko bunga miliknya.
Nawawi menceritakan bahwa pada satu waktu, seseorang bertanya kepada istri Hoegeng mengenai alasan menutup toko bunga itu. Lalu, dijawab tidak mau orang-orang membeli bunga karena jabatan sang suami.
“Itu orang yang memiliki pengelolaan conflict of interest. Hoegeng sudah mengajarkan kita,” kata Nawawi.
“Tidak seperti yang kita nampak sekarang ini, sudah terasa mundur saja lama, lama nunggu waktu yang tepat,” ujarnya lagi.
Beberapa di antaranya adalah dugaan bantuan sosial (bansos) pemerintah dengan logo pasangan calon presiden dan calon wakil presiden tertentu, serta pernyataan presiden boleh ikut berkampanye.
Kemudian, pengakuan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD yang mengaku akan mengundurkan diri di waktu yang tepat padahal sudah menjadi calon wakil presiden (cawapres).
https://nasional.kompas.com/read/2024/01/31/11534981/soroti-konflik-kepentingan-ketua-kpk-mau-mundur-saja-cari-waktu-yang-tepat