Kegiatan ini diadakan secara hybryd diikuti unsur kepolisian dan umum. Tema tersebut menggelitik pemikiran dan sangat aktual.
“Polri dalam pusaran konflik” merupakan jalan hidup dalam menjalani realitas kehidupan. Satu sisi realitas alamiah sebagai seorang manusia, sementara sisi lain adalah realitas yang terjadi karena proses hubungan dari tugas-tugas kepolisian.
Dalam kaitan dengan tugas, kita dapat melihat dalam banyak contoh. Misalkan, perang mulut antarelite politik atau antarindividu warga yang berujung saling lapor ke polisi.
Ketika para pihak datang melapor, maka sejak saat itu polisi sudah berhadapan dengan lingkaran konflik di antara para pihak.
Jika polisi salah menangani, maka lingkaran konflik menjadi melebar, yang tadinya hanya di antara terlapor dan pelapor, bertambah melibatkan kepolisian.
Peristiwa Rempang, Pulau Batam, yang terjadi beberapa waktu lalu, merupakan contoh kasus lain yang lebih pelik. Dalam kasus ini, pemerintah dan pelaku bisnis berhadapan dengan masyarakat.
Masyarakat Rempang yang mengalami ketidakadilan dan digusur dari tempat tinggalnya melakukan perlawanan. Ketika amarah masyarakat bergejolak, polisi baru dilibatkan untuk menghadapinya.
Dalam situasi seperti itu, polisi berada dalam pusaran konflik yang lebih rumit dan kompleks. Bisa jadi Polisi “dilematis” menghadapinya, pada satu sisi harus menyukseskan program pemerintah, dan di sisi lain harus berhadapan dengan masyarakat yang menolak.
Ketika polisi bertindak menyalahi aturan atau melakukan kekerasan, maka masalah yang muncul ke permukaan berkisar tentang perilaku polisi.
Sementara akar masalah utama dan aktor-aktor lain yang berasal dari para pengambil kebijakan dan para pelaku bisnis yang memiliki andil terjadinya konflik, lepas tangan tanpa ada suatu pertanggung jawaban etik maupun hukum.
Dalam kasus Rempang, dilihat dari sisi korban kekerasan, polisi di lapangan juga menjadi korban.
Dalam kasus lain, pemerintah dan juga aparat kepolisian justru tidak bertindak cepat mencegah konflik meluas dan jatuhnya korban jiwa.
Misalnya kasus Desa Agom versus Desa Bali Nuraga dan kasus Tgk Aiyub, yang terjadi beberapa bulan setelah pengesahan UU Penanganan Konflik Sosial Nomor 7 Tahun 2012.
Kedua kasus ini diangkat berdasarkan pengalaman kerja investigasi dan advokasi yang dilakukan penulis.
Sebagai gambaran singkat, peristiwa bentrokan warga Desa Agom dengan warga Desa Bali Nuraga, Kalianda, Lampung Selatan, berawal dari isu pelecehan terhadap anak perempuan tokoh masyarakat Desa Agom, yang dilakukan oleh sekelompok pemuda dari Desa Bali Nuraga. Isu tersebut berhembus begitu cepat dan menyulut kemarahan warga.
Kelompok masyarakat Desa Agom dan Desa Bali Nuraga yang tadinya hidup damai berubah menjadi saling serang.
Ironisnya, peristiwa ini bisa terjadi selama tiga hari berturut-turut pada 27-29 Oktober 2012. Sebanyak 14 orang tewas, ratusan orang terluka parah, ratusan rumah dan kendaraan rusak parah. Korban terbanyak justru jatuh pada hari terakhir.
Merunut kebelakang sebelum konflik meluas dan jatuhnya korban, sebetulnya pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya sudah mengetahui potensi bentrokan fisik. Namun tidak segera mengambil langkah pencegahan atau penyelesaian secara damai.
Kondisi serupa juga terlihat pada peristiwa Tgk Aiyub Syahkubat, seorang warga miskin, mengindap penyakit komplikasi. Ia dituduh dengan isu aliran sesat oleh sekelompok orang.
Kasus ini berlangsung hampir bertahun-tahun dan beberapa kali terjadi serangan terhadap dirinya, keluarganya, dan tempat tinggalnya.
Tgk Aiyub kemudian disidangkan oleh para tokoh agama dan tokoh masyarakat dengan keputusan “menjurus kepada sesat.”
Pascakeputusan tersebut, serangan terhadap dirinya tetap terjadi hingga puncaknya pada 16 November 2012, ia harus melawan sendiri.
Pada malam itu, Tgk Aiyub melakukan perlawanan dan terjadi saling bacok. Sebanyak tiga orang mati terbunuh, termasuk Tgk Aiyub, dan sebanyak sembilan orang penyerang lainnya mengalami luka parah.
Konflik sosial dan lingkaran kekerasan
Konflik sampai kapan pun akan selalu ada selama umat manusia belum berakhir, seperti disebutkan oleh Karl Marx masyarakat berada dalam keadaan konflik yang tiada henti karena persaingan untuk mendapatkan sumber daya yang terbatas.
Mereka yang kaya dan berkuasa berusaha mempertahankannya dengan segala cara, terutama dengan menekan kelompok miskin dan tidak berdaya.
Premis dasar teori konflik adalah bahwa individu dan kelompok dalam masyarakat akan bekerja untuk memaksimalkan kekayaan dan kekuasaan mereka sendiri.
Dalam pandangan lain dikemukakan oleh Cahyo Pamungkas bahwa dalam diskursus teoritis faktor utama penyebab konflik sosial, terdapat dua pandangan mainstream, yakni yang bersumber pada teori identitas sosial dan teori konflik realitis.
Teori konflik realitis adalah teori yang diperkenalkan oleh Lewis Coser. Coser mengategorikan konflik menjadi dua tipe, yakni konflik realitis dan konflik yang tidak realistis.
Konflik sosial hanyalah salah satu bentuk konflik yang saling kait-mengkait dengan konflik lainnya, yang dapat bersumber dari kompetisi politik, perebutan sumber daya alam, perebutan sumber ekonomi lainnya seperti lahan parkir, identitas sosial, agama/keyakinan, etnis, hukum, ketidakadilan, harga diri, dsbnya.
Bahkan perbedaan pendapat atau ketersinggungan sedikit bisa berubah menjadi musibah besar.
Dalam setiap konflik, pada dasarnya selalu tersedia pilihan, yakni jalan tanpa kekerasan atau dialog damai dan jalan dengan kekerasan.
Penyelesaian konflik melalui jalan damai, sebetulnya kita sudah punya banyak best pratice, baik yang diterapkan oleh pemerintah, misalkan dalam konflik besar seperti GAM dengan Pemerintah yang selesai melalui dialog damai, maupun pengalaman-pengalaman terbaik lainnya yang dijalankan oleh kelompok-kelompok masyarakat tingkat akar rumput.
Namun demikian, sepanjang dua dekade era demokratisasi ini, paradigma dan pendekatan kita belum berubah secara total.
Dalam kasus Rempang, Tgk Aiyub, Desa Agom dan Desa Bali Nuraga, dan lainnya, terlihat ada masalah cukup serius dalam diri kita dan dalam sistem penanganan konflik.
Kita belum beranjak dari cara-cara jaman jahiliah, yaitu pengunaan kekerasan sebagai instrumen berkonflik.
Pendekatan kekerasan masih lazim dipraktik oleh para pelaku kebijakan di semua tingkatan, struktur birokrasi, pelaku bisnis, aktor-aktor keamanan serta kelompok masyarakat di semua lapisan.
Selain aktor di atas, kedepan kemungkinan akan bertambah satu aktor lagi sejak dilegalkan paramiliter sebagai Komponen Cadangan melalui UU No. 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional.
Komponen Cadangan (Komcad) adalah orang sipil yang direkrut melalui proses seleksi, mengikuti pelatihan militer, untuk dimobilisasi oleh militer dalam menghadapi ancaman militer, nonmiliter, dan ancaman hybryd.
Kekerasan sebagai instrumen konflik yang dimaksudkan di sini seperti yang disampaikan oleh Jhon Galtung bahwa dalam tiap konflik kekerasan sering digunakan sebagai instrumen dalam berkonflik.
Lebih lanjut, Galtung membagi tiga macam bentuk kekerasan, yaitu kekerasan langsung, kekerasan kultural, dan kekerasan struktural.
Teori kekerasan Galtung tidak berbeda jauh dengan pendapat Dom Helder Camara. Jika kekerasan terus menerus dipraktikkan, maka berubah menjadi Spiral Kekerasan.
Spiral Kekerasan seperti dikutip oleh Lambang Trijono dapat dijelaskan dari bekerjanya tiga bentuk kekerasan bersifat personal, institusional, dan struktural, yaitu ketidakadilan, kekerasan pemberontakan sipil, dan represi negara.
Ketiganya saling berkait satu sama lain, kemunculan kekerasan satu disusul dan menyebabkan kemunculan kekerasan lainnya.
Kekerasan merupakan realitas multidimensi, tidak dapat dipisahkan kekerasan yang satu dengan kekerasan lainnya.
Dari ketiga bentuk kekerasan itu yang paling mendasar dan menjadi sumber utama adalah ketidakadilan. Karena sifatnya yang mendasar dan menjadi sumber dari kekerasan lainnya, Dom Helder Camara menyebutkan kekerasan jenis ini dengan kekerasan nomor satu.
Menyelamatkan manusia
Kekerasan-dalam bentuk apapun, jelas bukan ciri ataupun tujuan hidup bermasyarakat dan bernegara.
Dalam catatan sepanjang perjalananan usia negara kita, masalah paling sentral adalah kekerasan dan dehumanisasi.
Fakta menunjukkan bahwa kita adalah makhluk yang memiliki peran terbesar dalam memusnahkan sesama kita sendiri dibandingkan orang asing atau binatang-binatang terbuas di dunia ini. Kita yang memusnahkan bangsa kita sendiri, alam dan lingkungan tempat kita tinggal.
Menghadapi kondisi ini, maka perlu kiranya kita terus menerus menekan pentingnya prinsip-prinsip kemaslahatan dan humanisme.
Konsep dasar kemaslahatan dan humanisme adalah mengedepankan kebaikan, kemanfaatan, kepantasan, dan kepatutan serta memanusiakan manusia dalam kondisi apapun dan kepada siapapun.
Sejalan dengan itu, maka “berkeadilan” seperti tema seminar nasional harus diletakkan dalam kerangka berpikir dari nilai-nilai kemaslahatan dan penghormatan terhadap manusia.
Dengan kata lain, penanganan konflik harus mendasarkan pada konsep “berprikemanusiaan, beradab dan berkeadilan.” Inilah ciri khas Indonesia, sebagaimana terpatri dalam Pancasila. Demikian pula halnya di dalam semua kita suci yang menganjurkan “berbuat baiklah.”
Beranjak dari konsep di atas, sebagai langkah pertama dan utama adalah menjauhkan sifat “angkuh dan merasa berkuasa serta paling tahu” dan cara pandang yang melihat orang lain sebagai “musuh”.
Dalam konteks ini, sistem dan materi pendidikan (formal dan nonformal) di kemiliteran, kepolisian, dan lembaga-lembaga negara lainnya serta dalam kehidupan masyarakat, harus mulai dikoreksi dan diperbaiki.
Bersamaan dengan itu, metode penanganan konflik juga sudah harus berubah dari penindakan kepada pencegahan sepenuhnya.
Kualitas dan kuantitas aspek pencegahan sudah semestinya diperbesar dan diprioritaskan. Selain itu membuka ruang-ruang diskusi kritis dan dialog yang saling menghormati.
Saat ini, kita sedang menghadapi even politik elektoral 2024. Dalam momentum seperti ini juga berpotensial terjadi konflik dengan menggunakan kekerasan, seperti yang terjadi pada Pilpres 2019.
Pada Pilpres 2024, gejala-gejala konflik mulai terasa. Semua itu merupakan pra-kondisi yang perlu dipahami, dianalisis, dan dilakukan langkah-langkah penanganan sedini mungkin guna mencegah konflik meluas dan penggunaan kekerasan. Semua ini merupakan tanggung jawab seluruh multistakeholder.
Polri sebagai alat negara-yang hanya tunduk pada konsitusi, aturan hukum di bawahnya, keadilan, dan prinsip-prinsip HAM, dengan kewenangan dan fungsinya dapat bertindak secara mandiri dan bersikap netral dalam setiap penanganan masalah konflik demi menyelamatkan manusia dan terciptanya keselamatan rakyat.
Polri harus bisa menjadi wasit seperti Pierluigi Collina, seorang wasit bola yang dikenal tegas, berani, dan memiliki kualitas kepemimpinan yang luar biasa.
Setiap personel polisi adalah leader. Maka sebagai leader dan sebagai unsur utama menjaga keamanan, ketertiban, pelayanan publik dan penegakan hukum, maka memiliki peran sangat menentukan menjaga negara ini tetap aman dan wujudkan penanganan konflik secara damai, berprikemanusiaan, beradab dan berkeadilan.
https://nasional.kompas.com/read/2023/11/27/06275461/polri-dalam-penanganan-konflik-sosial-secara-berkeadilan