Apakah sikap para elite dan warga pemillih saling bertalian? Para calon pemimpin menunjukkan pola berbeda dalam dua Pemilu terakhir. Warga pemilih mungkin begitu kah?
Tepatnya, Pemilu 2019 akan berbeda dengan pemilu 2024. Elite bersikap lebih pragmatis. Bagaimana pemilih?
Pemilu 2019 terkesan adanya pembelahan berdasarkan golongan keagamaan yang cukup terang. Politik identitas tampik ke depan, istilahnya, digunakan setelah era demokrasi bebas pasca-gerakan reformasi.
Dalam gegap gempita reformasi sebagai gerakan dari aspirasi anak-anak muda simbol kelas menengah ke bawah, keterbukaan dan kebebasan dalam berpolitik dengan mudah ditumpangi identitas kelompok keagamaan.
Sebetulnya, politik identitas terlihat dari Pemilu 2004. Lalu Pemilu selanjutnya, 2009, 2014 menguat, dan puncaknya 2019.
Penggunaan sentimen keagamaan sebagai media untuk meraup simpati pemilih juga terlihat pada pemilihan gubernur Jakarta 2017.
Identitas keagamaan tampaknya dengan efektif mengubah alur pilihan hati. Iman warga dan iman pemimpin yang akan terpilih berdasarkan jati diri agama terlihat manjur.
Perubahan mendadak suasana pemilihan dirasakan. Pemilih terbelah berdasarkan sentimen iman. Iman menjadikan siapa saya dan siapa mereka. Siapa yang memilih dan siapa yang memilih, imannya apa?
Pemilu 2014 dan 2019 secara nasional mencerminkan pembelahan itu. Polarisasi organisasi keagamaan jelas pilihannya.
Sentimen kelompok diperbesar dan menghasilkan perbedaan pilihan. Polarisasi berjalan dan efektif. Loyalitas kelompok dan sentimen anti-kelompok lain mudah sekali tersulut.
Istilah-istilah digunakan juga hampir sama dengan Pilkada DKI Jakarta 2017: kadal gurun versus kodok atau cebong, radikalisasi dan konservatisme versus liberal, kiri, atau komunisme dan istilah pembelahan lain yang lugas.
Semua atribut dan label bermuara dari ranah lapangan politik ditarik kearah kelompok keagamaan. Dua organisasi Islam di Indonesia sangat sibuk memadamkan polirasasi itu.
Untungnya etnis tidak serta merta mengikuti. Jika etnis ditambah agama mengemuka, maka suasana akan sulit dikendalikan. Untung saja.
Dinamika Pilkada Jakarta 2017 dan Pemilu 2014 dan 2019 kurang lebih seperti itu. Faktor sentimen kelompok keagamaan efektif dimainkan dan menghasilkan polarisasi politik identitas.
Pemilu saat ini berbeda. Sikap pragmatisme elite bersekutu dan berkoalisi dalam partai menghasilkan dinamika seru.
Siapa kawan dan siapa kompetitor berubah. Lawan jadi kawan, kawan jadi lawan. Peta politik bergerak ke arah lain karena pragmatisme dan dinamika sikap elite.
Tiga pasangan calon (paslon) tidak menunjukkan konsistensi kelompok keagamaan, justru pembauran yang mengubah peta. Tidak ada satu pasangan calon yang konsisten didukung oleh satu kelompok.
Satu pasangan calon didukung dan berharap dukungan dari kelompok yang banyak. Harapannya swing voters membengkak.
Dalam dinamika pasca-reformasi, tradisi baru arah Timur Tengah dan global saat ini ditarik untuk bergabung dengan tradisi kultur lokal.
Hal ini tidak terbayangkan akan berkoalisi sebelumnya dan bahkan dulunya sering berhadap-hadapan. Ini mengubah peta politik.
Mergernya dua elite yang berbeda dari segi golongan keagamaan menghasilkan atmosfer baru. Maka, apakah para pemilih akan serta menerima keputusan elite itu?
Sebarapa banyak arus bawah mengikuti perubahan arus atas? Masihkah ideologi berlaku? Apakah ideologi sudah berubah? Atau sebetulnya seperti pragmatisme Amerika?
Asumsi-asumsi adanya perubahan akan terjadi. Kemungkinan pertama, bisa jadi arus bawah mengubah haluan dan mengganti ideologi, atau ideologi itu sendiri diragukan efektifitasnya.
Kemungkinan kedua, terjadi perubahan ideologi karena kalah dengan pragmatisme dalam kancah politik kita. Ideologi tidak lagi penting.
Walaupun di level bawah masih sangat erat dengan identitas kelompok keagamaan, praktiknya di level elite, ideologi sudah tidak penting lagi.
Langkah politik untuk memenangkan dan bermain cantik lebih utama. Akankah sikap pragmatisme elite ini mengubah sikap warga pemilih?
Akibatnya, organisasi keagamaan sepertinya tidak utuh dalam memengaruhi kemana arah pilihan umatnya.
Satu kelompok keagamaan bisa berada dalam dua calon capres dan cawapres. Bahkan satu kelompok bisa berada dalam tiga pasangan.
Terbelahnya pilihan menunjukkan tidak bisa lagi menggunakan identitas kelompok keagamaan dalam Pemilu kali ini. Kelompok keagamaan mempunyai pilihan yang beragam, baik elite ataupun warga.
Memang betul ada Capres dan Cawapres yang konsisten dengan aliansi lama, antara warga santri dan nasionalis. Ini pola yang selama ini menjadi sekutu dan berkali-kali tampil dalam menarik simpati pemilih.
Namun, pasangan yang lain juga mengantongi kartu yang sama. Semua calon pemimpin mengklaim telah mendapatkan dukungan dari semua organisasi keagamaan.
Semua berusaha cair dan mengalir. Semua berusaha tampil simpatik dan senyum-senyum.
Bagi para pimpinan organisasi keagamaan, yang paling tepat adalah sikap bijak dan dingin dalam berfatwa, agar pilihan yang berbeda tidak membelah umat.
Dan sikap pragmatisme elite ini juga mengurangi pekerjaan rumah, karena polarisasi berdasar sentimen agama melemah. Mungkin konflik kebencian agama berkurang. Bukan berarti tidak ada tensi dan kebencian. Masih ada, tetapi bentuknya lain.
https://nasional.kompas.com/read/2023/10/27/11041631/pemilu-2024-tidak-ada-polarisasi