YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Ketiga bakal calon presiden yakni Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, serta Prabowo Subianto ditantang menyampaikan pendapat mereka terkait kondisi demokrasi dan kebebasan berpendapat.
Gagasan itu disampaikan oleh ketiganya dalam program Mata Najwa: 3 Bakal Capres Bicara Gagasan, yang dilaksanakan di Grha Saba Pramana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Selasa (19/9/2023).
Setiap bakal capres dihadirkan dalam waktu yang berbeda dan diberikan pertanyaan dari pembawa acara Mata Najwa, Najwa Shihab.
Mereka memberikan pandangan berbeda terkait persoalan kebebasan berpendapat dan praktik demokrasi di dalam masyarakat.
Berikut ini rangkuman gagasan dari Anies, Ganjar, dan Prabowo terkait kebebasan berpendapat.
1. Anies Baswedan
Anies menilai kondisi kebebasan berpendapat di Indonesia jauh dari harapan dan masih bermasalah. Ia bahkan memberikan skor lima dan enam dari sepuluh.
"Jadi menurut saya kebebasan berpendapat hari ini di Indonesia sedang bermasalah. Skor angkanya mungkin sekitar 5 dan 6 ya," kata Anies.
Anies menyatakan, selama masyarakat masih menggunakan kiasan Wakanda atau Konoha dalam merujuk sebuah problem yang terjadi di masyarakat atau negara, maka menurut dia skor kebebasan berpendapat di Indonesia masih rendah.
Begitu pun ketika menggunakan bahasa lain yang tidak sesuai dengan identitas diri.
"Selama kita masih harus menggunakan nama-nama selain kita sendiri, untuk mengungkapkan apa yang menjadi pikiran kita, maka skor kita masih rendah," beber Anies.
Anies lantas mencontohkan beberapa kejadian yang tidak mendukung kebebasan berpendapat.
Seorang dosen pernah diproses menjadi kriminal hanya karena mengungkapkan pandangan di beberapa tempat. Padahal, menurut Anies, kampus menjadi salah satu ruang untuk bebas berpendapat.
"Menurut saya kita masih jauh dari harapan sekarang dan itu tadi saya katakan. Kita harus memberikan (ruang), apalagi di kampus. Ruang kebebasan, berekspresi, mengkritik pemerintah, itu sah. Dan itu boleh, apalagi dilakukan oleh kampus-kampus," jelas Anies.
Menurut Ganjar, kebebasan berpendapat di Indonesia lebih dari cukup karena semua masyarakat bisa menyampaikan isi pikiran dan kritik secara langsung atau media sosial, tanpa khawatir diseret ke ranah hukum.
"Saya tiap hari di-bully kok, Mbak. Saya menuntut mereka? Tidak. Mereka yang membully saya saat gubernur, saya anggap mereka kasih energi koreksi buat saya. Mereka tidak saya penjarakan kok," kata Ganjar.
Menurut Ganjar, kritik tetap harus diterima meski disampaikan dengan bentuk yang bagi sebagian kalangan dianggap sebagai penghinaan.
"Kalau kita lihat seperti itu hari ini namanya medsos. Ngomong sebebas-bebasnya, setelah acara ini yakin banyak omongan-omongan dipotong dan dikomentari," kata dia.
Bahkan, hal ini baru terjadi beberapa waktu lalu ketika Ganjar menjadi pembicara di Universitas Indonesia (UI).
"Apakah saya menuntut? No, karena kemarin terjadi setelah saya bicara di UI," kata dia.
Data dari Kontras pada Juni 2022-Juli 2023 terdapat 108 pelanggaran hak terhadap kebebasan berekspresi mulai dari serangan digital hingga serangan fisik. Terkait data ini, Ganjar mempertanyakan perbandingannya.
"Perbandingannya berapa, sayang tidak ada pembanding. Umpama sekian berbicara, Kontras atau siapapun lembaganya, melakukan riset, inilah hate speech, hoaks, bully, kalau itu dihadirkan persentasenya tinggi, saya yang salah," kata dia.
Ganjar mengatakan, dia tidak pernah memperkarakan orang yang mengkritiknya. Namun, Ganjar mengingatkan, komentar-komentar yang sudah tidak pantas dapat menghilangkan nilai-nilai budi pekerti.
"Saya maki kalian dengan kebun binatang apakah itu Indonesia, apakah itu yang dimaksud budi pekerti, apakah itu guru-guru kami mengajarkan ke kami sehingga kami saling tidak hormat antar sesama," ucap dia.
3. Prabowo Subianto
Menurut Prabowo, kondisi kebebasan berpendapat di Indonesia saat ini cukup tinggi.
"Kalau saya 1 sampai 10, mungkin 8 begitu. Pendapat saya ya," kata Prabowo.
Menurut Prabowo, yang seharusnya diawasi dalam praktik kebebasan berpendapat adalah soal penipuan, kebohongan, hoaks, ujaran kebencian, sampai penghinaan.
Menurut Prabowo, pendapat yang disampaikan dengan cara makian atau ditutupi dengan kebohongan dapat memicu kebencian terhadap suku, agama, dan ras tertentu.
"Selebihnya saya lihat lumayan lah kita, dibandingkan beberapa negara tetangga kita," ujar Prabowo.
Prabowo juga mencontohkan sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang kerap mendapatkan ujaran kebencian, tetapi tidak memperkarakannya.
"Kalau Pak Jokowi ada seorang intelektual mengatakan dia bodoh, tolol, kan Pak Jokowi biasa saja tidak menanggapi juga. Tidak ada beliau mengadu-ngadu ke hukum dan sebagainya," kata Menhan. "Jadi, saya kira lumayan lah kita," imbuh dia.
Soal revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Prabowo mengatakan dia membutuhkan waktu buat melakukan telaah terlebih dulu.
(Penulis: Fika Nurul Ulya, Tatang Guritno, Wisang Seto Pangaribowo, Editor: Dani Prabowo, Diamanty Meiliana, Bagus Santosa, Robertus Belarminus)
https://nasional.kompas.com/read/2023/09/20/11101451/menengok-pandangan-anies-ganjar-prabowo-soal-kebebasan-berpendapat