Huda berpendapat, kampannye di lembaga pendidikan memang seharusnya diizinkan agar anak-anak muda dapat terlibat dan lebih paham mengenai politik.
"Saya sih welcome ya. Saya setuju keputusan ini bisa menjadi semacam ruang edukasi politik, jangan lebih. Bahwa kita membutuhkan anak-anak muda kita sjeak dini terlibat politik, mengerti politik, supaya tidak apolitis," kata Huda di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (22/8/2023).
Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini mengaku sudah lama mencita-citakan agar anak muda harus mengerti politik sejak dini.
Menurutnya, mengizinkan kampanye di lingkungan pendidikan merupakan kesempatan untuk mewujudkan hal tersebut.
Namun, Huda mengingatkan bahwa putusan MK ini harus diikuti oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan membuat peraturan supaya kampanye di lingkungan pendidikan tidak malah merusak.
"Tinggal saya kira KPU menurunkan itu menjadi aturan yang lebih detil, yang sifatnya tidak malah menjadi momentum destruktif, tapi betul-betul menjadi momentum yang positif untuk menjadikan anak-anak muda kita megnerti politik sejak dari awal," ujarnya.
Huda mencontohkan, salah satu ketentuan yang bisa dibuat KPU adalah mengadakan mimbar bebas di kampus perguruan tinggi sebagai tempat para politisi beradu argumen.
Namun, ia menilai kegiatan tersebut tidak cocok untuk diselenggarakan di sekolah.
"Kalau di level sekolah mungkin sifatnya lebih pada laboratorium awal politik gagasan, jadi jangan sampai, saya belum setuju kalau misalnya para politisi para caleg (ke) sekolah bikin mimbar seperti di kampus," kata Huda.
Untuk diketahui, MK mengizinkan peserta pemilu berkampanye di fasilitas pemerintah dan pendidikan selama tidak menggunakan atribut kampanye. Hal ini termuat dalam Putusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023 yang dibacakan pada 15 Agustus 2023.
Larangan kampanye di tempat ibadah, tempat pendidikan, dan fasilitas pemerintah tercantum tanpa syarat dalam Pasal 280 ayat (1) huruf h.
Namun, pada bagian Penjelasan, tercantum kelonggaran yang berbunyi, “Fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan”.
Dalam amar putusannya, MK menyatakan, bagian Penjelasan itu tidak berkekuatan hukum mengikat karena menciptakan ambiguitas.
Jika pengecualian itu diperlukan, maka seharusnya tidak diletakkan di bagian penjelasan. Sebagai gantinya, pengecualian itu dimasukkan ke norma pokok Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu, kecuali frasa "tempat ibadah".
"Sehingga Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu selengkapnya berbunyi, "peserta pemilu dilarang, red.) menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan, kecuali untuk fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu"," bunyi putusan itu.
Dalam pertimbangannya, Mahkamah menilai bahwa pengecualian tersebut sudah diatur sejak UU Pemilu terdahulu.
Lantas, mengapa tempat ibadah tetap tidak diberikan pengecualian sebagai tempat kampanye meski atas undangan pengelola dan tanpa atribut kampanye?
"Larangan untuk melakukan kegiatan kampanye pemilu di tempat ibadah menjadi salah satu upaya untuk mengarahkan masyarakat menuju kondisi kehidupan politik yang ideal sesuai dengan nilai ketuhanan berdasarkan Pancasila di tengah kuatnya arus informasi dan perkembangan teknologi secara global," tulis putusan itu.
https://nasional.kompas.com/read/2023/08/22/17030311/dukung-kampanye-di-kampus-ketua-komisi-x-harus-ada-aturan-agar-tak-merusak