JAKARTA, KOMPAS.com - “Sayuti sungguh menjadi deus ex machina, dewa penolong,” demikian diucapkan Achmad Soebardjo sebagaimana dituliskan Harian Kompas, 16 Agustus 1969.
Soebardjo bersaksi, saat itu, Jumat, 17 Agustus 1945 dini hari, situasi perumusan teks Proklamasi di rumah Laksamana Maeda yang terletak di Jalan Imam Bonjol Nomor 1 (ketika itu disebut Jalan Miyakodoori), Menteng, Jakarta Pusat, berlangsung tegang.
Golongan tua dan kelompok tua sama-sama bertensi tinggi.
Hadir mewakili golongan tua yakni para anggota “Badan Persiapan Kemerdekaan”, di antaranya, Soekarno, Hatta, Radjiman Wedyodiningrat, Soepomo, Sam Ratulangi, Latuharhary, Boentaran Martoatmodjo, dan Iwa Kusumasumantri.
Sedangkan dari kelompok muda, hadir antara lain Sukarni, Chaerul Saleh, dan BM Diah.
Secarik kertas
Beberapa jam sebelum ketegangan itu, Subardjo diajak oleh Sukarni meninggalkan rumah Laksamana Maeda untuk sesaat menuju sebuah rumah di kawasan Manggarai di Menteng.
Di rumah tersebut rupanya telah berkumpul angkatan muda kelompok Sukarni, yaitu Adam Malik, Djawoto, Chaerul Saleh, Pandu Kartawiguna, dan Maruto Darusman. Para kelompok muda terkejut mengetahui Sukarni mengajak Soebardjo ke rumah itu.
Tak lama, salah seorang dari mereka memberikan secarik kertas ke Sukarni, yang lantas diberikan Sukarni ke Soebardjo.
Kepada Soebardjo, Sukarni berbisik bahwa jika naskah Proklamasi ditandatangani, jangan melupakan nama-nama yang tertulis di secarik kertas tersebut.
“Langsung saya masukkan kertas itu ke dalam kantong tanpa membaca sedikit pun yang tertulis karena kita tergesa-gesa. Gagasan saya saat itu sedang terpusat pada apa yang kiranya terjadi di rumah Maeda,” ucap Soebardjo.
Tegang
Secarik kertas itu lantas disinggung Sukarni di rumah Laksamana Maeda sesaat setelah Soekarno rampung menuliskan teks Proklamasi.
Di hadapan para pihak yang hadir, Soekarno bertanya, siapa yang akan menandatangani naskah deklarasi kemerdekaan tersebut.
Sukarni, yang kala itu berdiri di samping Soebardjo berbisik, “Bung, apa secarik kertas dari teman-teman di Jalan Bogor Lama sudah diberikan kepada Bung Karno?”.
Soebardjo seketika terkejut dan berkata, “Maaf, Karni, saya sungguh lupa, tapi kita tunggu sebentar…”.
Sebelum Soebardjo sempat menyampaikan kertas itu ke Soekarno, ternyata, Bung Besar sudah menyarankan supaya naskah Proklamasi ditandatangani dengan keterangan “Wakil-wakil Bangsa Indonesia”.
Namun, gagasan Soekarno tersebut ditolak oleh Sukarni. Ia enggan kelompok pemuda disejajarkan dengan para anggota Badan Persiapan Kemerdekaan yang kala itu dia anggap bekerja sama dengan Jepang untuk mewujudkan kemerdekaan.
Sempat muncul usulan supaya semua yang hadir di ruangan memberikan tanda tangan. Namun, gagasan tersebut lagi-lagi ditolak oleh Sukarni.
“Ide ini tidak dapat diterima sama sekali! Mereka yang tidak punya dana apa-apa dalam mempersiapkan Proklamasi tidak berhak menandatangani,” kata Sukarni dengan nada tinggi.
Soebardjo menduga, ucapan Sukarni tersebut ditujukan buat para pemuda yang hadir saat itu, tetapi bukan dari kelompoknya.
“Dalam lubuk hatinya mungkin Sukarni menghendaki agar hanya nama-nama yang tertulis dalam secarik kertas itu sajalah yang dicantumkan sebagai penandatanganan Proklamasi,” katanya.
Nama-nama itu adalah Chaerul Saleh, Adam Malik, Djawoto, Pandu Kartawiguna, Maruto Nitimihardjo, dan Sukarni.
Sayuti beri jalan
Di tengah memanasnya situasi, Sayuti Melik tampil dengan usulnya supaya hanya Soekarno dan Hatta yang membubuhkan tanda tangan.
“Saya kira tidak ada yang akan menentang kalau Soekarno dan Hatta yang menandatangani Proklamasi atas nama Bangsa Indonesia,” katanya.
Rupanya, usul Sayuti itu diterima oleh semua pihak yang hadir di ruangan tersebut. Baik golongan tua maupun kelompok muda menyepakati gagasan Sayuti secara aklamasi. Mereka pun riuh bertepuk tangan.
Reputasinya sebagai patriot yang baik menyebabkan Sayuti mendapat kepercayaan dari pemimpin-pemimpin yang lebih tua, sekaligus dari golongan muda.
“Usul yang dikemukakan (Sayuti Melik) agaknya merupakan hasil lobinya dengan kedua kelompok itu,” tutur Soebardjo.
Maka, dibubuhkanlah tanda tangan Soekarno dan Hatta di teks Proklamasi untuk mewakili Bangsa Indonesia.
Selanjutnya, Sayuti mendapat kepercayaan untuk mengetik naskah tulisan tangan Soekarno tersebut, hasil pemikiran Bung Karno, Hatta, dan Soebardjo.
Selang beberapa jam setelah situasi panas itu, naskah Proklamasi dibacakan oleh Soekarno tepat 17 Agustus pukul 10.00 WIB di kediamannya di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, Jakarta Pusat.
Bunyi lengkap teks Proklamasi sebagai berikut:
Proklamasi
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05. Atas nama bangsa Indonesia.
Soekarno/Hatta.
https://nasional.kompas.com/read/2023/08/01/13232551/sayuti-melik-dewa-penyelamat-malam-tegang-perumusan-teks-proklamasi