Salin Artikel

Saat Jokowi Tanyakan Urgensi Pasal Penghinaan Presiden di KUHP Baru...

JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat mempertanyakan urgensi pasal penghinaan presiden yang dimuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru.

Hal itu diceritakan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej dalam acara Kementerian Hukum dan HAM (Menkumham) Goest To Campus di Universitas Mataram, NTB, Kamis (13/7/2023).

Pertanyaan Jokowi itu disampaikan pada 2019, saat KUHP batal disahkan karena gerakan penolakan masa yang begitu masif.

"Ketika KUHP batal disahkan 2019, kami tim ahli dipanggil oleh Presiden. Presiden hanya bertanya dua pasal, satu pasal tentang pidana mati, satu pasal tentang pidana penghinaan Presiden," kata Eddy.

Jokowi bertanya dengan nada meragukan pasal tersebut harus dicantumkan dalam KUHP.

"Saya kalau dihina juga enggak apa-apa, kan sudah biasa saya dihina," kata Eddy menirukan Jokowi.

Ia menyebutkan, pasal itu untuk melindungi negara dari kedaulatan dan martabat yang dimiliki.

"Bapak ibu bisa bayangkan tidak, apa logis, dalam KUHP di seluruh negara di dunia ada bab yang mengatur tentang penyerangan harkat martabat kepala negara," tutur Eddy.

"Bapak ibu bisa bayangkan harkat martabat kepala negara asing dilindungi oleh KUHP, masa kepala negara sendiri tidak? ibarat kita boleh maki-maki orangtua, tetapi tetangga kita puja-puji. Itu alasan kami tetap akui, itu tidak akan ada multi-interpretasi," imbuh dia.

Pasal-pasal terkait penghinaan kepala negara itu jelas memiliki dua indikator, yaitu memfitnah atau menista. Memfitnah dengan informasi bohong, atau menista dengan memberikan julukan dengan nama-nama hewan.

Ketentuan yang mengatur penghinaan presiden diatur dalam Pasal 217, 218, dan 219 Bab II Tindak Pidana terhadap Martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pasal 217 berbunyi:

"Setiap Orang yang menyerang diri Presiden dan/atau Wakil Presiden yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana lebih berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun."

Dalam hal ini, pidana penjara paling lama tiga tahun juga menanti setiap orang yang berada di muka umum melakukan penyerangan terhadap kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden dan/atau wakil presiden.

Hal tersebut tertuang dalam Pasal 218 ayat (1) Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden.

"Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri," bunyi Pasal 218 ayat (2).

Sementara itu, ada pula pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV dalam pasal penghinaan presiden ini dalam Pasal 219.

Hal tersebut berlaku bagi setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum.

Akan tetapi, tindak pidana yang diatur dalam Pasal 218 dan 219 berlaku apabila terdapat aduan. Aduan dapat dilayangkan secara tertulis oleh presiden dan/atau wakil presiden menurut Pasal 220 ayat (2).

https://nasional.kompas.com/read/2023/07/14/07304721/saat-jokowi-tanyakan-urgensi-pasal-penghinaan-presiden-di-kuhp-baru

Terkini Lainnya

Yusril: Penambahan Kementerian Prabowo Bukan Bagi-bagi Kekuasaan, Tak Perlu Disebut Pemborosan

Yusril: Penambahan Kementerian Prabowo Bukan Bagi-bagi Kekuasaan, Tak Perlu Disebut Pemborosan

Nasional
BPK di Pusara Sejumlah Kasus Korupsi...

BPK di Pusara Sejumlah Kasus Korupsi...

Nasional
Pengamat: Status WTP Diperjualbelikan karena BPK Diisi Orang Politik

Pengamat: Status WTP Diperjualbelikan karena BPK Diisi Orang Politik

Nasional
Pilkada 2024, Belum Ada Calon Perseorangan Serahkan KTP Dukungan ke KPU

Pilkada 2024, Belum Ada Calon Perseorangan Serahkan KTP Dukungan ke KPU

Nasional
Ada Jalur Independen, Berapa KTP yang Harus Dihimpun Calon Gubernur Nonpartai?

Ada Jalur Independen, Berapa KTP yang Harus Dihimpun Calon Gubernur Nonpartai?

Nasional
PPP: RUU Kementerian Negara Masuk Prolegnas, tetapi Belum Ada Rencana Pembahasan

PPP: RUU Kementerian Negara Masuk Prolegnas, tetapi Belum Ada Rencana Pembahasan

Nasional
Latihan Gabungan, Kapal Perang TNI AL Tenggelamkan Sasaran dengan Rudal Khusus hingga Torpedo

Latihan Gabungan, Kapal Perang TNI AL Tenggelamkan Sasaran dengan Rudal Khusus hingga Torpedo

Nasional
Menag Cek Persiapan Dapur dan Hotel di Madinah untuk Jemaah Indonesia

Menag Cek Persiapan Dapur dan Hotel di Madinah untuk Jemaah Indonesia

Nasional
 Melalui Platform SIMPHONI, Kemenkominfo Gencarkan Pembinaan Pegawai dengan Pola Kolaboratif

Melalui Platform SIMPHONI, Kemenkominfo Gencarkan Pembinaan Pegawai dengan Pola Kolaboratif

Nasional
PPP Anggap Wacana Tambah Menteri Sah-sah Saja, tapi Harus Revisi UU

PPP Anggap Wacana Tambah Menteri Sah-sah Saja, tapi Harus Revisi UU

Nasional
Eks KSAU Ungkap 3 Tantangan Terkait Sistem Pertahanan Udara Indonesia

Eks KSAU Ungkap 3 Tantangan Terkait Sistem Pertahanan Udara Indonesia

Nasional
Mayoritas Provinsi Minim Cagub Independen, Pakar: Syaratnya Cukup Berat

Mayoritas Provinsi Minim Cagub Independen, Pakar: Syaratnya Cukup Berat

Nasional
Soal Gagasan Penambahan Kementerian, 3 Kementerian Koordinator Disebut Cukup

Soal Gagasan Penambahan Kementerian, 3 Kementerian Koordinator Disebut Cukup

Nasional
 Belum Diatur Konstitusi, Wilayah Kedaulatan Udara Indonesia Dinilai Masih Lemah,

Belum Diatur Konstitusi, Wilayah Kedaulatan Udara Indonesia Dinilai Masih Lemah,

Nasional
PAN Setia Beri Dukungan Selama 15 Tahun, Prabowo: Kesetiaan Dibalas dengan Kesetiaan

PAN Setia Beri Dukungan Selama 15 Tahun, Prabowo: Kesetiaan Dibalas dengan Kesetiaan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke