JAKARTA, KOMPAS.com – Akademisi sekaligus pakar hukum pidana, Chairul Huda menilai, vonis hakim yang dijatuhkan kepada mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri Ferdy Sambo, dibuat dengan konstruksi terpaksa.
Choirul menjadi salah satu dari delapan akademisi yang melakukan eksaminasi kajian akademik atas putusan mati Ferdy Sambo, dalam perkara pembunuhan berencana terhadap eks ajudannya, Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat.
“Ketika menulis eksaminasi, saya hanya berbekal pada putusan tingkat pertama atau pengadilan negeri, jadi tidak menjadi bagian dieksaminasi putusan di tingkat banding walaupun putusan banding ini hanya menguatkan saja,” ucap Chairul Huda dalam keterangannya seperti dikutip Senin (12/6/2023).
Dalam eksaminasi itu, Chairul menyorot soal pasal penyertaan dan peran Ferdy Sambo yang disebut sebagai auktor intelektual dan juga pelaku penembakan.
Menurutnya, konstruksi majelis hakim dinilai terpaksa karena hakim berhadapan dengan dua persoalan yakni Ferdy Sambo yang hanya dijerat penyertaan Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dan adanya opini publik di luar pengadilan, terhadap mantan jenderal bintang dua itu.
Dia menyebut, jika Ferdy Sambo dianggap sebagai auktor intelektual, seharusnya tidak ikut ambil bagian secara langsung dalam pelaksanaan ataupun merencanakan perbuatan perkara.
Namun, di sisi lain, hakim juga menyebut Sambo turut serta atau menjadi pelaku utama karena ikut menembak Brigadir J.
“Jadi konstruksi yang menjebak hakim sehingga berakrobatik di dalam pertimbangan-pertimbangan perkara ini," ujar Chairul.
"Ferdy Sambo dianggap menembak yang hanya didasarkan pada keterangan Richard tanpa atau tidak berkesesuaian dengan saksi-saksi lain, tidak berkesesuaian dengan barang buktinya, tidak berkesesuaian dengan keterangan ahlinya, tetapi itu terpaksa dilakukan untuk dapat mengkualifikasi Richard sebagai justice collaborator,” imbuhnya.
Masih terkait pasal penyertaan, Chairul juga menilai pemahaman majelis hakim berkenaan dengan pembunuhan berencana di kasus Ferdy Sambo kurang tepat.
Pasalnya, kata dia, kasus pembunuhan berencana adalah kasus pembunuhan yang diperberat, sehingga bisa disebut pembunuhan berencana.
Selain itu, pembunuhan berencana dapat disebut sebagai pembunuhan yang dipikir-pikir lebih dulu, sehingga berbeda dengan pembunuhan spontan.
Atas hal itu, Chairul menilai, ada kesalahan majelis hakim terkait posisi terdakwa Putri Candrawathi, Ricky Rizal Wibowo dan Kuat Ma’ruf yang dinilai tidak memiliki kontribusi dalam pembunuhan berencana.
Sebab, Chairul hanya melihat ada kontribusi dari terdakwa Richard Eliezer dan Ferdy Sambo dalam kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir J.
“Ini menurut saya satu hal menjadi kurang tepat di dalam pemahaman mengenai pasal ini. Bahwa Richard merenungkan apa yang mau dilakukan di kamar mandi, dia berdoa sebelum melakukan itu, itu suasana yang tenang mungkin buat dia untuk memikirkan perbuatannya. Apa hubungannya itu dengan yang lain yang tidak memberikan kontribusi terhadap matinya korban,” katanya.
Selanjutnya, ahli Hukum Pidana dari Fakultas Hukum Universitas Muhamadiyah Jakarta itu juga mengungkap hasil eksaminasi perkara Ferdy Sambo terkait motif.
Dari versi penasehat hukum menyebut yang menjadi motif ada faktor pemerkosaan. Sementara jaksa mengatakan bahwa itu motifnya bukan perkosaan, tetapi perselingkuhan.
Akan tetapi, tim eksaminasi mencatat hakim menolak kedua motif itu dan mengatakan motifnya adalah kecewa meski tak dijelaskan lebih lanjut alasannya.
Chairul mengatakan perkara-perkara yang motifnya belum memiliki titik terang atau belum terungkap di persidangan, seharusnya tidak boleh dijatuhkan vonis mati.
“Jadi motifnya belum jelas tapi divonis mati, yang notabane ultrapetita. Ultrapetita itu boleh sepanjang tidak keluar dari dakwaan, tidak keluar dari ketentuan undang-undang, dan tidak boleh dijatuhkan tanpa pertimbangan yang cukup. Kalau motifnya tidak terungkap, maka ini belum pertimbangannya yang cukup,” tuturnya.
Diketahui dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir J, ada total lima terdakwa termasuk Ferdy Sambo.
Ferdy Sambo mendapatkan vonis hukuman mati, Putri Candrawathi divonis 20 tahun penjara, Kuat Ma’ruf divonis 15 tahun penjara.
Kemudian, Ricky Rizal Wibowo divonis 13 tahun, dan Richard Eliezer Pudihang Lumiu yang berstatus justice collaborator (JC) dijatuhi pidana 1 tahun 6 bulan.
https://nasional.kompas.com/read/2023/06/12/11584961/eksaminasi-putusan-ferdy-sambo-pakar-hukum-nilai-hakim-pakai-konstruksi