JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengajak para aparatur sipil negara (ASN) hingga penyelenggara negara bersikap jujur dalam menyampaikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), berkaca dari kasus dugaan kekayaan tak wajar mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Rafael Alun Trisambodo.
"Sebetulnya yang kami juga berharap makanya itu perlunya pendidikan integritas. Paling tidak para pejabat penyelenggara negara kita tuntut jujurlah dalam mengisi LHKPN," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata kepada awak media di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (28/2/2023).
Menurut Alexander, dari pengamatan selama ini terdapat sejumlah pejabat negara yang melaporkan harta kekayaannya tidak sesuai profil dan jabatan mereka.
Alexander mengatakan, selain kejanggalan LHKPN pejabat negara yang bernilai besar, ternyata ada juga penyelenggara negara yang melaporkan harta kekayaannya dalam jumlah kecil.
Maka dari itu menurut Alexander kedua hal yang terpampang dalam LHKPN itu patut diselidiki.
"Kita memang enggak mungkin mengawasi seluruh penyelenggara negara, tetapi setidaknya dari posisi-posisi yang cukup strategis kami bisa melihat sejauh mana integritas mereka," ujar Alexander.
Rafael menjalani klarifikasi oleh Direktorat Pendaftaran dan Pemeriksaan (PP) Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Rabu (1/3/2023).
Penyebabnya adalah Rafael menyatakan mempunyai harta sebesar Rp 56,1 miliar di dalam LHKPN yang dianggap tidak wajar dan tak sesuai profil jabatannya.
Perwakilan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang membawahi DJP sebelumnya telah mendatangi KPK membahas klarifikasi harta kekayaan Rafael.
Gaya hidup Mario kemudian menjadi sorotan karena dia kerap memamerkan sejumlah kendaraan mewah seperti mobil dan sepeda motor besar.
Selang beberapa waktu kemudian, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan bahwa Rafael terendus melakukan transaksi "yang agak aneh".
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana menduga Rafael menggunakan nominee atau orang lain untuk membuka rekening dan melakukan transaksi.
PPATK pun telah mengirimkan hasil analisis transaksi mencurigakan Rafael ke KPK sejak 2012.
“Signifikan tidak sesuai profile yang bersangkutan dan menggunakan pihak-pihak yang patut diduga sebagai nominee atau perantaranya,” kata Ivan.
Akibat kasus penganiayaan dan kekayaan tidak wajar itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mencopot Rafael dari jabatannya di DJP.
https://nasional.kompas.com/read/2023/03/01/12103371/kasus-harta-tak-wajar-rafael-alun-pejabat-diimbau-jujur-isi-lhkpn