Citra positif institusi Kepolisian menurun tajam dalam empat bulan terakhir. Survei Litbang Kompas yang dirilis Kamis (27/10/2022), mencatat, citra positif lembaga ini merosot 17,2 persen dari periode Juni-Oktober 2022.
Pada Juni 2022 lalu, citra positif Polri berada di angka 65,7 persen. Sementara, saat ini hanya di angka 48,5 persen.
Dalam dua tahun terakhir, citra Kepolisian memang terus mengalami penurunan. Pada Oktober 2021, citra positif Polri mencapai 77,5 persen.
Kemudian sedikit turun pada Januari 2022 menjadi 74,8 persen. Enam bulan setelahnya atau pada Juni 2022, citra Polri melorot cukup tajam hingga 9,1 persen dan berada di angka 65,7 persen. Penurunan terbesar terjadi pada periode Juni-Oktober 2022.
Dari Sambo, Kanjuruhan hingga Teddy Minahasa
Menurunnya citra positif Polri beberapa bulan terakhir, disinyalir tak lepas dari sejumlah kasus yang menerpa institusi ini.
Kasus pembunuhan berencana terhadap Yosua yang diotaki mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengaman (Kadiv Propam) Polri Ferdy Sambo dianggap sebagai salah satu penyebabnya.
Tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, yang menyebabkan sedikitnya 135 orang tewas juga ikut menyumbang memburuknya citra Kepolisian.
Pasalnya, tragedi ini diduga dipicu oleh penembakan gas air mata yang dilakukan oleh personel Kepolisian.
Terungkapnya jaringan peredaran narkoba yang melibatkan mantan Kapolda Sumatera Barat Irjen Teddy Minahasa dan anggota Polri lainnya menambah marwah Kepolisian menukik tajam.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyatakan, kasus Sambo, Kanjuruhan, dan Teddy Minahasa merupakan pukulan yang berat bagi Kepolisian.
Secara terbuka orang nomor satu di Korps Bhayangkara ini meminta maaf atas perilaku anak buahnya dan kinerja Kepolisian yang belum sesuai harapan.
Namun, meminta maaf saja tidak cukup. Harus ada evaluasi dan koreksi di tubuh Polri.
Selain itu Kapolri juga harus melakukan perbaikan dan pembenahan di Kepolisian, mulai dari struktur hingga kultur. Mulai dari proses perekrutan hingga pengawasan.
Menagih janji Polri Presisi
Berbagai kasus yang menimpa Kepolisian menunjukkan bahwa (mungkin) selama ini ada yang salah di institusi Polri.
Janji reformasi Polri yang selama ini digaungkan ternyata belum terbukti. Berbagai kasus yang menerpa institusi ini menjadi bukti.
Semboyan Polri Presisi (Prediktif, Responsibilitas, Transparansi Berkeadilan) yang digaungkan Kapolri sejauh ini belum tampak di lapangan.
Kasus pembunuhan berencana terhadap Yosua dan peredaran gelap narkoba yang melibatkan dua mantan jenderal polisi bintang dua membuka mata dan menyadarkan kita semua.
Ternyata, reformasi di tubuh Polri yang digaungkan pada Reformasi 1998 belum sesuai harapan. Pasalnya, sebagai institusi penegak hukum Kepolisian ternyata tak imun dari penyelewengan kekuasaan dan tindak kejahatan.
Desakan pembenahan dan reformasi di tubuh Kepolisian kembali disuarakan. Kasus pembunuhan berencana terhadap Yosua dan peredaran gelap narkotika yang melibatkan Teddy Minahasa harus menjadi momentum bagi Polri untuk memperbaiki dan membenahi diri. Reformasi Polri menjadi sesuatu yang mendesak untuk dilakukan.
Reformasi bisa diawali dengan meninjau dan merevisi UU Kepolisian, khususnya terkait mekanisme pengawasan di internal Kepolisian yang saat ini dilakukan Divisi Profesi dan Pengamanan.
Kewenangan Polri terkait penyelidikan, penyidikan, dan penindakan juga harus ditinjau ulang. Rekrutmen anggota Kepolisian juga harus menjadi perhatian.
Selain itu, desakan agar Polri didudukkan di bawah kementerian juga kembali disuarakan. Pemerintah dan DPR perlu menimbang kembali wacana revisi UU Polri dan mendudukkan Polri di bawah kementerian seperti TNI.
Ini dilakukan agar Kepolisian tidak langsung di bawah Presiden sehingga terkesan arogan. Apalagi mereka memiliki wewenang penuh terkait perencanaan dan penggunaan anggaran.
Menuntaskan reformasi Kepolisian
Polri memang pernah direformasi, yakni dipisahkan dari Tentara Nasional Indonesia (TNI). Ini dilakukan agar Polri menjadi lembaga yang profesional dan mandiri, jauh dari intervensi.
Selain itu, Polri juga menjadi salah satu institusi yang mendapatkan remunerasi. Ini dilakukan dengan harapan agar institusi ini profesional dan tak lagi terlibat korupsi. Namun, sepertinya reformasi di tubuh Kepolisian perlu kembali dilakukan dan dituntaskan.
Kasus pembunuhan berencana terhadap Yosua, tragedi kemanusiaan di Kanjuruhan dan peredaran gelap narkotika yang melibatkan jenderal bintang dua saat kasus ini terjadi harus menjadi momentum bagi Polri untuk melakukan evaluasi dan memperbaiki diri.
Hal ini perlu dilakukan untuk mengembalikan kepercayaan publik dan citra positif terhadap institusi ini. Juga agar Polri menjadi institusi yang melindungi, mengayomi, dan melayani tak hanya sekadar mimpi.
Akankah Polri bisa memetik pelajaran dari berbagai kasus yang mendera atau menganggap itu hal biasa? Dan apa yang harus dibenahi agar tidak ada lagi Sambo dan Teddy Minahasa kedua di institusi penegak hukum ini?
Simak wawancara khusus jurnalis senior Harian Kompas Budiman Tanuredjo dengan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan saksikan pembahasannya dalam talkshow Satu Meja The Forum, Rabu (1/3/2023), yang disiarkan langsung di Kompas TV mulai pukul 20.30 WIB.
https://nasional.kompas.com/read/2023/03/01/10522551/sambo-teddy-dan-melorotnya-citra-polri