Salin Artikel

Bawa Aku Pergi dari Sini, Aku Ingin... Keadilan

Terkadang kita lupa kehidupan yang kita jalani menjadi seperti ini
(bawa aku pergi dari sini...)
Kita lupa bahwa ada cara lain untuk hidup
Cara mudah untuk menggapai cita
Kita lupa semua ini dapat menjadi milik kita
aku ingin pindah ke Meikarta

Kesohoran iklan penjualan apartemen Meikarta adalah salah satu contoh betapa konsumen di negeri ini begitu mudah terpikat dan “dibujuk” untuk beli.

Mungkin konsumen tidak bisa disalahkan begitu saja, mereka tidak membeli kucing dalam karung. Jaminan kelompok usaha besar yang berada di belakang Meikarta, membuat konsumen rela merogoh kocek dalam-dalam.

Ternyata impian untuk memiliki apartemen seperti yang digambarkan dalam iklan, jauh panggang dari apinya. Bukannya unit apartemen indah yang didapat, tetapi justru gugatan hukum yang diterima sebagian konsumen.

Uang sudah dibayarkan, unit apartemen terus dijanjikan serah terimanya, kini mereka harus memperpanjang “asa” agar uang bisa kembali.

Sebetulnya, permintaan konsumen cukup sederhana. Mereka berharap uang yang telah terlanjur dibayarkan bisa dikembalikan dengan utuh. Mereka tidak mempermasalahkan bunga dari uang yang sudah mengendap sekian lama di pihak developer.

Justru mereka terperangah karena pihak pengembang menyodorkan dua pilihan sulit. Untuk konsumen yang terlanjur membayar lunas Rp 285 juta untuk tipe studio, uang yang telah masuk bisa dikembalikan.

Pertama, uang yang telah dibayar konsumen akan dikembalikan tetapi kena “potongan” Rp 63 juta. Atau kedua, diganti unit lain tetapi dengan harga “baru” Rp 480 juta dan tambahan biaya lainnya (Detik.com, 25 Januari 2023).

Aksi unjuk rasa yang dilakukan sebagian konsumen yang tergabung dalam Perkumpulan Komunitas Peduli Konsumen Meikarta (PKPKM) di depan Gedung DPR, Senayan dan Kantor Bank Nobu Plaza, Desember 2022 lalu, justru dijadikan “senjata” oleh pihak pengembang untuk menggugat konsumen (Kompas.com, 26/1/2023).

Pihak pengembang merasa nama baiknya dicermarkan dalam aksi unjuk rasa 18 orang konsumen yang “tidak tahu diuntung” itu.

Tidak tanggung-tanggung, pengelola apartemen Meikarta yang berlokasi di Cikarang, Jawa Barat itu meminta Rp 56 milyar sebagai ganti rugi kepada para konsumen yang berunjuk rasa.

Konsumen yang menjadi tergugat dinilai penggugat memberikan berbagai penyataan dan tuduhan yang menyesatkan, tidak benar, dan bersifat provokatif serta menghasut.

Sepertinya derita konsumen yang telah menunggu unit apartemen rampung sejak 2017 silam dan kini menuntut uang kembali karena unit yang dijanjikan tidak kunjung jelas pembangunannya akan semakin lama.

Wakil rakyat di DPR yang menjadi tempat pengaduan konsumen pun tidak “berdaya” memanggil pihak pengembang Meikarta.

Wakil Ketua Komisi VI DPR Martin Manurung sampai mengingatkan pengelola apartemen Meikarta untuk memenuhi panggilan DPR.

Jika mangkir sampai tiga kali, maka Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD bisa memberikan hukuman sandera 30 hari untuk pihak yang “mbalelo” dari panggilan DPR (Detik.com, 25 Januari 2023).

Kasus Meikarta menjadi ujian bahwa penegakkan hukum dan keadilan di negeri ini memang masih memprihatinkan.

Kaum lemah tidak mempunyai sandaran akan dibelanya nasib oleh pedang keadilan dari hakim yang semakin melupakan nurani. Keberpihakan pemerintah pun menjadi rebah di kaki orang berduit.

Betapa tidak, Henry Surya di mata hakim dianggap “tidak bersalah” atas tindak pidana penipuan dan penggelapan dana nasabah KSP Indosurya.

Oleh karenanya, Henry Surya harus dikeluarkan dari penjara Rutan Salemba, Jakarta.

Hakim sepertinya tidak memedulikan nasib 23.000 nasabah Indosurya yang telah menginvestasikan uang Rp 106 triliun ke Indosurya. Dana ribuan konsumen digelapkan dan dipakai untuk kepentingan pribadi pemilik Indosurya.

Sepertinya saya tidak yakin apakah hakim-hakim yang memutus bebas Henry Surya pernah “ngangsu” ilmu kepada mendiang-mendiang Prof Selo Sumardjan, Prof Loebby Lukman, Prof Daud Ali, Prof Erman Radjaguguk, Prof Tahir Azhary, Prof Soerjono Soekanto, Prof Purnadi Purbatjaraka, Prof Hamid Attamimi, Prof Charles Himawan, Prof Mardjono Reksodiputro, atau Prof Uswatun Hasanah.

Dari pendekar-pendekar ilmu hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu, kami para mahasiswanya selalu ditempa untuk selalu memandang kasus hukum dengan pijakan nurani keadilan.

Bukan melihat aset yang dimiliki penipu dan penggarong uang rakyat, tetapi melihat dampak perbuatan penipu kepada para korbannya.

Keadilan harus ditegakkan walau langit akan runtuh sekalipun, kini menjadi jargon yang kerap ditertawakan korban ketidakadilan. Miris!

Tidak hanya sang pemilik Indosurya saja yang divonis bebas murni. Oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Direktur Keuangan KSP Indosurya, Cipta June Indria juga mendapat “kado” indah serupa dengan bos-nya, yakni vonis bebas dan dianggap tidak bersalah.

Kasus Indosurya memang berawal dari ketertarikan masyarakat yang menilai Indosurya bisa memberikan keuntungan bunga lebih besar daripada menyimpan dana di bank-bank umum.

Patokan masyarakat tentunya dari gerak operasional Indosurya yang mendapat izin dari pihak berwenang.

Unsur-unsur ketidakberesan Indosurya seperti yang terdeteksi Kementerian Koperasi dan UKM seperti indikasi penyimpangan, tidak adanya laporan keuangan dan rapat anggota tahunan, kegagalan bayar uang nasabah berkali-kali, dan mengeluarkan produk investasi bodong sepertinya luput dari penilaian para hakim yang menjadi wakil Tuhan di meja pengadilan.

Hakim juga alpa dalam menempatkan bandul keadilan berada di tengah dalam kasus ini. Bandul keadilan terlalu “njomplang” dan “blangsak”.

Ada nasabah KSP Indosurya yang mengalami depresi dan bunuh diri akibat uangnya lenyap tanpa bekas di Indosurya.

Total kerugian kasus Indosurya yang mencapai Rp 106 triliun menempatkan Indosurya sebagai kasus penipuan terbesar dalam sejarah “penggangsiran” uang rakyat.

Selvi meregang nyawa akibat diduga ditabrak mobil Audi A8 yang memaksa masuk dalam iring-iringan konvoi kendaraan milik polisi di Cianjur, Jawa Barat, Jumat (20/1/2023).

Kapolres Cianjur AKBP Doni Hermawan membantah kalau mobil penabrak Selvi adalah anggota iring-iringan konvoi, tetapi justru yang memaksa masuk dalam rombongan (Kompas.com, 25/01/2023).

Mobil Audi A8 diketahui menggunakan nomor kendaraan “palsu”. Mobil tersebut diakui milik seorang personel Polri. Saat itu, sopir yang merupakan warga sipil tengah mengantarkan istri sang polisi.

Sebelumnya kasus ini viral di media sosial, dengan informasi yang beredar bahwa penabrak Selvi adalah pejabat karena mendapat pengawalan polisi.

Hingga sekarang, siapa yang menabrak Selvi belum jelas terungkap, padahal dari keterangan saksi-saksi di lokasi kejadian dan rekaman CCTV bisa menjadi “pengungkap” kejelasan wafatnya Selvi.

Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Kombes Latif Usman menyebut Hasya tewas karena kelalaiannya sendiri, bukan ulah kelalaian pensiunan polisi yang menabraknya (Kompas.com, 28/01/2023).

Malam 6 Oktober 2022, yang melumat keadilan keluarga Hasya bermula dari kendaraan di depan motor yang dikendarai Hasya belok secara tiba-tiba.

Hasya terpaksa mengerem mendadak. Akibatnya motornya terpelanting dan jatuh di kanan.

Di saat yang bersamaan, ada mobil Mitsubishi Pajero yang dikemudikan pensiunan polisi berpangkat AKBP melintas. Tak ayal, Hasya terlindas.

Hasya yang terluka dan sempat lama berada di pinggir jalan, baru bisa dibawa mobil ambulans setelah kawan-kawannya berusaha meminta pertolongan ke mana-mana.

Sudah kehilangan anaknya, kini keluarga mendiang juga mendapat “kado” keadilan berupa status tersangka bagi Muhammad Hasya Attala Saputra yang telah meninggal akibat dilindas mobil.

Dua kejadian ini, baik yang menimpa mahasiswi Universitas Suryakencana dan mahasiswa UI dan kebetulan “melibatkan” aparat, rasa keadilan yang diterima para korban ibaratnya terjadi di negeri yang tidak mengenal supremasi hukum. Mbelgedhes dengan hukum kita!

Bagaimana dengan kasus yang melibatkan aparat dengan aparat? Sami mawon, keadilan hanya milik orang berpangkat tinggi, tetapi tidak dengan mereka yang menjadi korban yang berpangkat rendahan.

Kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat yang melibatkan bekas Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Irjen Ferdy Sambo, istrinya Putri Candrawathi, Bripka Ricky Rizal Wibowo, Kuat Ma’ruf dan Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu justru terlihat “nyentrik” jika melihat besaran tuntutan hukum kepada masing-masing terdakwa.

Putri yang dianggap menjadi “sumber” masalah kasus ini terjadi malah dituntut hukuman 8 tahun penjara, sama dengan tuntutan yang diterima Kuat dan Ricky sebagai “turut” pelaku.

Sementara Eliezer yang bertindak atas tekanan dan perintah atasannya untuk menembak Yosua dituntut hukuman 12 tahun penjara.

Peran Eliezer yang menjadi satu-satunya justice collaborator sehingga skenario yang awalnya “ditutup-tutupi” Ferdy Sambo berhasil terungkap, tidak menjadi dasar keringanan tuntutan.

Di tengah kabar adanya permainan “jenderal-jenderal” yang berusaha kasak kusuk untuk mencegah hukuman maksimal diterima Ferdy Sambo, publik masih berharap pedang keadilan tidak lagi mejan, apalagi rusak berkarat.

Tidak peduli apakah Sambo pernah memegang kasus-kasus permainan “nakal” yang melibatkan perwira-perwira tinggi Polri, saatnya momentum penegakkan hukum di negeri ini terus dilakukan. Kita sudah lama jengah dengan tontonan ketidakadilan di negeri ini.

Kalau cinta sudah dibuang
Jangan harap keadilan akan datang
Kesedihan hanya tontonan
Bagi mereka yang diperkuda jabatan

Sabar, sabar, sabar dan tunggu
Itu jawaban yang kami terima
Ternyata kita harus ke jalan
Robohkan setan yang berdiri mengangkang

Penindasan serta kesewenang-wenangan
Banyak lagi, teramat banyak untuk disebutkan
Hoi hentikan, hentikan jangan diteruskan
Kami muak dengan ketidakpastian dan keserakahan

Di jalanan kami sandarkan cita-cita
Sebab di rumah tak ada lagi yang bisa dipercaya
Orang tua pandanglah kami sebagai manusia
Kami bertanya tolong kau jawab dengan cinta

(Sebagian lirik lagu “Bongkar” karya Iwan Fals)

https://nasional.kompas.com/read/2023/01/28/13301991/bawa-aku-pergi-dari-sini-aku-ingin-keadilan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke