JAKARTA, KOMPAS.com - Proses penegakan hukum yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Gubernur Papua Lukas Enembe yang ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) serta gratifikasi senilai Rp 1 miliar masih alot.
KPK menetapkan Lukas Enembe sebagai tersangka dugaan korupsi dan gratifikasi sejak 5 September 2022.
Selain dilarang bepergian ke luar negeri, beberapa rekening sebesar Rp 71 miliar yang diduga terkait dengan Lukas Enembe telah diblokir oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
KPK memanggil Lukas Enembe untuk diperiksa sebagai tersangka pada 12 September lalu, tetapi dia tidak hadir dengan alasan sakit.
Kemudian KPK menjadwalkan pemeriksaan kedua dengan mengirim surat panggilan kedua kepada Lukas Enembe agar dia hadir untuk diperiksa di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, pada 25 September 2022.
Akan tetapi Enembe kembali tidak hadir dalam pemeriksaan kedua karena alasan kesehatan.
Pihak Lukas Enembe juga sudah mengajukan permohonan agar KPK memberikan izin kepada yang bersangkutan untuk berobat ke Singapura. Namun, KPK tetap meminta supaya Enembe terlebih dulu datang ke Jakarta.
Seharusnya istri dan anak Enembe, Yulce Wenda Enembe dan Astract Bina Timoramo Enembe atau Bona, hadir dalam pemeriksaan di KPK sebagai saksi pada Rabu (5/10/2022) lalu. Namun, keduanya tidak memenuhi undangan KPK.
"Keduanya dipanggil sebagai saksi hari ini, tapi istri dan anak gubernur memilih tidak hadir dan memberikan keterangan, sebab memiliki hubungan keluarga inti dengan Lukas Enembe," ujar Ketua Tim Hukum Nasional Gubernur Papua, Petrus Bala Pattyona, di Jayapura, Rabu (5/10/2022).
Menurut dia, penolakan itu merupakan salah satu hak masyarakat sesuai dengan KUHP Pasal 168 dan Pasal 35 Undang-undang Tipikor yang menjelaskan, orang yang mempunyai hubungan perkawinan suami, istri, anak atau terikat pekerjaan selaku atasan, bawahan mempunyai hak menolak pemeriksaan untuk didengar keterangan sebagai saksi.
Namun Petrus mengaku sudah menanyakan langsung kepada Yulce Wenda Enembe dan Bona Enembe terkait tuduhan gratifikasi Lukas Enembe senilai Rp 1 miliar.
"Ketika kami bertanya apakah istri dan anak Gubernur tahu soal transferan Rp 1 miliar, beliau gubernur mengaku tidak mengerti apa-apa, sebab pada 1 Mei 2020 Bona sedang berada di Australia," kata dia.
Selain itu, Petrus juga menyatakan, baik Yulce maupun Bona, merasa terganggu dengan pemblokiran sejumlah rekening yang dilakukan PPATK terhadap sejumlah rekening yang diduga berhubungan dengan Lukas Enembe. Sebab, menurut Petrus, salah satu rekening yang diblokir adalah milik Yulce.
"Mungkin akibat inilah istri dan anak gubernur enggan memberikan keterangan, apalagi soal transfer Rp 1 miliar sama sekali tidak diketahui," tutur Petrus.
Benarkan blokir rekening
KPK menyatakan penyidik memang meminta PPATK untuk memblokir rekening milik Yulce.
Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri mengatakan, pemblokiran tersebut dilakukan untuk keperluan pembuktian dugaan suap dan gratifikasi yang menyeret Lukas.
"Benar, penyidik melakukan pemblokiran rekening bank istri tersangka Lukas Enembe sebagai bagian kebutuhan pembuktian pada proses penyidikan perkara ini," kata Ali dalam pesan tertulisnya kepada wartawan, Kamis (6/10/2022).
Menurut Ali, pemblokiran rekening istri Lukas itu sudah lama dilakukan dan tidak terkait dengan istri Lukas yang tidak memenuhi panggilan penyidik KPK.
"Bukan karena saksi tersebut mangkir tidak datang memenuhi panggilan KPK," ujar Ali.
Ancaman jemput paksa
Selain itu, Ali menegaskan, pemanggilan Yulce dan Bona tidak hanya sebagai saksi bagi Lukas.
Karena itu, KPK menilai alasan mereka tidak menghadiri panggilan penyidik karena masih memiliki hubungan keluarga dengan Lukas tidak dapat diterima.
"Pemanggilan para saksi tersebut tidak hanya untuk tersangka Lukas Enembe saja sehingga tidak ada alasan hukum untuk tidak hadir karena ada hubungan keluarga," tutur Ali.
KPK menyatakan segera menjadwalkan ulang pemeriksaan terhadap Yulce dan Bona.
Jika pada panggilan kedua tersebut mereka kembali mangkir, KPK bisa melakukan jemput paksa sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
"Jika mangkir kembali maka sesuai ketentuan hukum bisa dilakukan jemput paksa terhadap saksi," kata Ali.
Selain itu, Ali meminta supaya pihak-pihak lain tidak mempengaruhi saksi sehingga enggan memenuhi panggilan pemeriksaan penyidik KPK.
"Kami juga mengingatkan kepada siapapun dilarang undang-undang untuk mempengaruhi setiap saksi agar tidak hadir memenuhi panggilan penegak hukum," ujar Ali.
(Penulis : Kontributor Jayapura, Dhias Suwandi, Syakirun Ni'am | Editor : Icha Rastika, Krisiandi)
https://nasional.kompas.com/read/2022/10/07/05591561/saat-perkara-korupsi-lukas-enembe-merembet-hingga-anak-dan-istri