JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Zudan Arif Fakhrulloh mengusulkan, calon peserta pemilihan presiden dan wakil presiden (Pilpres), pemilihan legislatif (Pileg) dan pemilihan kepala daerah (Pilkada) pada 2024 untuk menyatakan tidak pernah memiliki paspor negara lain.
Menurutnya, selama ini peserta pemilu tidak pernah mendeklarasikan kepemilikan paspor negara lain apabila tidak ditanya.
"Kami mengusulkan, pada 2024 dalam pilpres, pileg dan pilkada, KPU agar membuat formulir setiap orang yang mencalonkan sebagai peserta perlu menyatakan tidak pernah memiliki paspor negara lain," ujar Zudan dilansir dari siaran pers Kemendagri, Kamis (19/5/2022).
"Selama ini dalam hal kewarganegaraan Indonesia menganut stelsel pasif. Kalau tidak ditanya, para capres, caleg atau cakada tidak pernah mendeklarasikan mereka pernah punya paspor negara lain atau tidak," lanjutnya.
Zudan menuturkan, nantinya KPU bisa mempersiapkan suatu formulir khusus sehingga para calon kepala daerha, calon legislatif dan calon presiden dapat mendeklarasikan perihal paspor tersebut
"Jadi ada satu formulir yang dipersiapkan oleh KPU, sehingga calon atau pasangan (paslon) itu mau men-declare hal tersebut," tegasnya.
Zudan lantas menjelaskan latar belakang usulan tersebut.
Menurutnya, saat ini WNI yang mempunyai paspor negara lain tidak otomatis dinyatakan kehilangan kewarganegaraan.
Karena masih memerlukan tindakan atau keputusan pemerintahan yang memastikan kapan kewarganegaraannya hilang.
"Hal ini perlu dokumen berupa keputusan dari pemerintah untuk kepastian hukum," ungkapnya.
Sementara itu, dalam administrasi pemerintahan apa yang dikatakan batal demi hukum itu tidak ada yang terjadi secara otomatis.
Zudan mencontohkan saat dirinya menangani kasus Djoko Tjandra (DT) dan Bupati Sabu Raijua, Orient Riwu Kore (ORK) yang memiliki kewarganegaraan ganda dengan memiliki dua paspor.
"Djoko Candra memiliki Paspor Papua Nugini, Orient Kore punya paspor Amerika Serikat. Tapi keduanya masih juga berstatus WNI dalam Sistem Administrasi Kependudukan (Adminduk)," katanya.
"Karena yang bersangkutan tidak pernah melapor, tidak pernah melepaskan kewarganegaraan, sehingga pemerintah tidak tahu bila yang bersangkutan memiliki dua paspor," jelas Zudan.
Padahal, dalam pasal 23 UU Kewarganegaraan dikatakan salah satu penyebab hilangnya kewarganegaraan adalah memiliki paspor negara lain.
Zudan menilai perumusan di Pasal 23 itu sebagai perumusan norma sanksi administrasi.
Sehingga, ketika memenuhi syarat melakukan perbuatan yang telah ditetapkan, maka orang tersebut dapat diberi sanksi kehilangan kewarganegaraannya.
"Di sinilah tindakan pemerintahan yang bersifat konkret, individual dan final diperlukan. Esensinya adalah diperlukan adanya sebuah keputusan dari pemerintah," tutur Zudan.
"Saya berpendapat dari dua kasus tersebut, yang dalam waktu yang bersamaan keduanya memiliki paspor tapi tidak otomatis kehilangan kewarganegaraannya dan masih berstatus WNI. Ini disebabkan belum ada tindakan administrasi pemerintah," paparnya.
Lebih lanjut Zudan menjelaskan, adanya asas hukum yang mengatakan "Lex superiori derogat legi inferiori".
Artinya, peraturan yang lebih tinggi mengalahkan peraturan yang lebih rendah.
"Tapi ketika perda-perda di daerah tidak dibatalkan, tetap saja perda yang lebih rendah dari UU dan bertentangan dengan UU, tetap dijalankan dan tidak batal. APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) sah, perda perizinan jalan," papar Dirjen Zudan.
Sehingga, menurutnya, sepanjang belum ada tindakan administrasi pemerintahan maka pasal 23 itu belum masuk pada perbuatan hukum konkret.
"Jadi kita belum tahu, ORK itu kapan kehilangan kewarganegaraan RI-nya, DT kapan kehilangan kewarganegaraannya," tambah Zudan.
https://nasional.kompas.com/read/2022/05/20/07165681/dirjen-dukcapil-usul-peserta-pemilu-2024-deklarasikan-tak-pernah-punya