JAKARTA, KOMPAS.com - Hakim panel Mahkamah Konstitusi (MK) menilai, permohonan uji formil dan materiil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Ibu Kota Negara (IKN) yang diajukan oleh Azyumardi Azra dan 20 orang lainnya “kabur dan tidak jelas dalam petitumnya”.
Pemohon diminta memperbaiki format permohonan dengan memisahkan pengujian formil dengan materiil atau menggabungkannya, tetapi dengan menggunakan model alternatif.
”Kalau petitum seperti ini, MK bisa mengatakan permohonan kabur, karena Saudara sendiri tidak yakin dengan permohonan Saudara,” ujar Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Aswanto, yang menjadi ketua panel pemeriksaan pendahuluan, dalam sidang di MK, Kamis (24/3/2022), dikutip KOMPAS.
Aswanto menduga bahwa para pemohon “ragu”, sehingga melapis permohonan uji formil dengan uji materiil. Tanpa model alternatif, permohonan seperti ini dianggap kabur dan tidak konsisten.
Pasalnya, di satu sisi, melalui uji formil, para pemohon meminta agar UU IKN dibatalkan karena proses pembentukannya.
Namun, pada uji materiil, pemohon meminta koreksi beberapa pasal pada UU IKN, yang mana dapat ditafsirkan bahwa pemohon mengakui proses pembentukan undang-undang itu.
“Kalau yakin (uji) formil, mestinya betul-betul merugikan pemohon dan bahwa undang-undang dibentuk tidak berdasarkan aturan perundang-undangan,” kata Aswanto.
Hakim panel yang terdiri dari Aswanto, Manahan MP Sitompul, dan Daniel Yusmic P Foekh, menyarankan agar permohonan uji formil dan uji materiil tersebut dipisah.
Kalaupun digabung, permohonan keduanya dibuat secara alternatif. Artinya, apabila MK menolak uji formil, sebagai alternatifnya MK diminta menguji beberapa pasal yang dipersoalkan dalam UU IKN tersebut.
”Kalau ini diajukan paralel, konsekuensinya kita tidak bisa menjangkau pemeriksaan materiil itu. Andai pengujian formil tidak dikabulkan, maka kami menguji materiil. Untuk apa Anda minta sama-sama? Kalau sudah dikabulkan formilnya, unlogic-lah kalau minta dikabulkan materiilnya. Karena untuk apa lagi,” ungkap Manahan.
Sementara itu, Daniel Yusmic P Foekh menyoroti soal nomenklatur IKN yang memang tidak dikenal dalam konstitusi, yaitu Pasal 18 A dan Pasal 18 B UUD 1945.
Ia menyarankan pemohon memberikan perbandingan dengan negara lain atau menggali perspektif historis dan filosofis, selain yuridis, mengenai hal tersebut.
Judicial review UU IKN ini teregistrasi dengan nomor perkara 34/PUU-XX/2022. Kuasa hukum pemohon, Ibnu Sina, kliennya merasa dirugikan hak konstitusionalnya atas pembentukan UU IKN.
Proses pembentukan UU tersebut menafikan hak konstitusional pemohon untuk memperoleh akses informasi yang bermakna.
Pemohon mengutip putusan 91/PUU-XVIII/2020 yang mensyaratkan adanya partisipasi masyarakat secara bermakna (meaningful participation) dalam suatu pembentukan undang-undang.
Tiga prasyarat yang harus dipenuhi agar sebuah partisipasi disebut bermakna adalah hak untuk 1) didengarkan pendapatnya, 2) dipertimbangkan pendapatnya, dan 3) mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan.
Pemohon mengakui bahwa pembentuk undang-undang telah meminta masukan dari berbagai pihak, baik pakar hukum tata negara, pakar hukum lingkungan dan tata kota, pakar pemerintahan, maupun lainnya terkait UU IKN.
Namun, lanjutnya, beberapa narasumber yang dihadirkan itu nyatanya mempersoalkan agar pembentukan UU IKN disusun secara tidak berburu-buru, perlu partisipasi publik khusus bagi yang terdampak, dan bahkan perlu studi kelayakan yang cukup.
https://nasional.kompas.com/read/2022/03/25/11563711/hakim-mk-minta-uji-formil-dan-materiil-uu-ikn-dipisah