Salin Artikel

15 Tahun Aksi Kamisan: Harapan Itu Sebetulnya Sudah Sirna, Kami Berkali-kali Dibohongi

JAKARTA, KOMPAS.com – Lima belas tahun. Dalam rentang waktu tersebut, seorang ibu bisa mengingat bagaimana anak mungil yang dulu ia antar ke gerbang sekolah dasar, kini sedang berjuang lulus dari universitas.

Kurun waktu yang sama juga cukup untuk menempatkan 3 orang presiden yang berbeda di Istana Negara.

Dan pada kurun waktu itu pula, pemandangan serba hitam senantiasa tersaji setiap hari Kamis di depan Istana Negara.

Aksi Kamisan, nama pemandangan itu, terdiri dari kumpulan orang-orang beratribut hitam yang tetap teguh menuntut tanggung jawab negara atas hilangnya nyawa orang-orang terkasih.

Orang-orang datang dan pergi dalam barisan serba hitam itu. Sebagian memilih memperjuangkan hidupnya sendiri. Sebagian lainnya pilih bergabung dengan lingkaran kekuasaan yang selama ini dikritiknya.

Namun, sebagian lain, entah bagaimana cara mereka menjaga stamina, memilih setia meskipun harapan nyaris tenggelam oleh gelombang pengkhianatan yang datang bertubi-tubi.

“Yang menyemangati saya hanya cinta,” ujar Sumarsih, salah satu perempuan setia itu.

“Saya mencintai Wawan. Saya tahu persis apa yang dilakukan Wawan.”

Bernardinus Realino Norma Irmawan alias Wawan merupakan mahasiswa Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta.

Ia tewas ditembak aparat bersenjata dalam peristiwa yang belakangan dinamai Tragedi Semanggi I, 13 November 1998.

Saat itu, di basement RS Jakarta, Maria Katarina Sumarsih, bundanya, hanya dapat meraba sekujur tubuh yang sudah kaku di atas keranda itu sebagai salam perpisahan.

“Wan, kamu lapar..., oh, Wan, kamu ditembak,” ucap Sumarsih.

Dua puluh tahun lebih sudah berlalu, tapi kehilangan itu tidak pernah basi.

Atas kehilangan itu, Sumarsih bersama korban dan keluarga korban pelanggaran HAM membentuk sebuah paguyuban pada 1999.

Paguyuban itu bernama Paguyuban Korban/Keluarga Korban Tragedi Berdarah 13-15 Mei 1998, Semanggi I (13 November 1998), Semanggi II (24 September 1999), dan Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TruK).

“Wawan sering bercerita tentang gerakan mahasiswa tahun 1998. Perjuangan belum selesai tapi teman-temannya banyak yang lari dari perjuangan,” kenang Sumarsih ketika bebincang dengan Kompas.com, Jumat (21/1/2022).

Sejak Januari 2007, Sumarsih dkk menginisiasi Aksi Kamisan. Lima belas tahun berlalu dan selama itu pula negara seolah amnesia atas tanggung jawabnya.

“Penguasa semakin menutup mata dan telinga,” kata dia.

Harapan-harapan palsu

Sumarsih mengaku pernah menyimpan harapan bahwa negara akan bertanggung jawab atas pelanggaran HAM berat masa lalu.

Ia bercerita, setiap kali menjelang pemilihan umum, Susilo Bambang Yudhoyono maupun Joko Widodo kerap melontarkan janji itu.

Bahkan, bukan hanya janji. Keduanya sama-sama pernah mengundang Sumarsih dkk untuk membicarakan masalah ini di Istana.

SBY melakukannya pada 26 Maret 2008. Pertemuan itu terjadi beberapa hari sebelum Kejaksaan Agung mengumumkan bahwa berkas penyelidikan Komnas HAM untuk Tragedi Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II, hilang.

Berikutnya, Joko Widodo melakukan hal serupa pada 31 Mei 2018. Sumarsih mengungkapkan, ia sempat bimbang untuk menyambut undangan tersebut karena Jokowi, justru mempekerjakan Wiranto, Panglima ABRI pada 1998, dalam kabinetnya.

Ada benang merah yang menautkan SBY dan Jokowi dalam hal ini.

Pertama, keduanya sama-sama mengundang korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat ketika menjelang pemilu. Kedua, dua-duanya sama-sama bermodal janji manis belaka.

“Hitam di atas putih, Pak Jokowi berjanji menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu, kasus-kasusnya bahkan disebutkan, kemudian beranji menghapus impunitas (kekebalan hukum), tapi kenyataannya, di pertengahan periode pertama Pak Jokowi mengangkat terduga pelanggar HAM berat (Wiranto),” ujar Sumarsih.

Padahal, Jokowi pernah menjadi sosok tumpuan harapan Sumarsih dkk. Janji-janjinya ketika pertama kali melenggang ke percaturan politik nasional pada 2014 lalu membawa angin segar.

Apalagi, waktu itu, Jokowi masuk dalam kontestasi sebagai calon dengan rekam jejak bersih bila dibandingkan dengan lawannya saat itu, Prabowo Subianto.

Dalam Nawa Cita yang digadang-gadang, eks Wali Kota Solo itu juga berjanji menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat.

“Saya itu dari pemilu tahun 1999, 2004, 2009, saya itu golput. Kemudain 2014 saya kampanye, ayo pilih Pak Jokowi karena ada harapan itu. Saya sampai bilang di Aksi Kamisan, saya akan berhenti dari Aksi Kamisan karena saya penuh harap Pak Jokowi akan selesaikan kasus HAM berat,” ungkapnya.

“Harapan itu sebetulnya sudah tidak ada.”

Sumarsih jelas kecewa karena sosok yang diharapkan begitu rupa ternyata sama saja dengan pendahulunya.

Jokowi justru menawarkan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat namun sifatnya nonyudisial alias di luar jalur pengadilan.

Tawaran ini dianggap mengingkari hak korban dan menabalkan impunitas bagi para pelaku pelanggaran HAM berat. Sumarsih secara terang-terangan menolak wacana ini.

Di era kepemimpinan presiden yang sama, karpet merah bukan hanya diberikan bagi satu terduga pelanggar HAM berat.

Teranyar, Mayjen Untung Budiharto yang notabene anggota Tim Mawar yang terlibat penghilangan paksa pada 1997-1998, terpilih sebagai Pangdam Jaya, dan belum terdengar intervensi Jokowi soal polemik ini.

Harapan juga menguap karena wakil-wakil rakyat di Senayan juga tak dapat diandalkan.

“Banyak orang bilang, seperti Pak Asrul Sani atau Taufik Basari beberapa kali mengatakan, peta politik di DPR masih sama dengan zaman Orde Baru, bahwa DPR bukan wakil rakyat tapi wakil partai,” ujar Sumarsih.

“Mengapa saya juga tidak percaya (pemerintah), karena sekarang ini para terduga pelanggar HAM berat, termasuk orang yang sudah dinyatakan secara inkrah—walau akhirnya mengajukan banding—diberi jabatan strategis mengambil kebijakan,” tuturnya.

Lantas, apa yang membuat Sumarsih tetap setia berdiri setiap hari Kamis, dengan tuntutan yang sama, dengan rasa berkabung yang masih sama, juga di depan Istana yang sama?

“Harapan sebetulnya sudah tidak ada, karena berkali-kali kami dibohongi. Harapan saya ada di anak-anak muda yang datang ke Aksi Kamisan,” akunya.

“Suatu saat mereka yang akan memimpin negara ini, ada yang jadi presiden, atau menjadi penegak hukum yang mampu dan berani menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat,” tambah Sumarsih.

Kini, saat kancah politik mulai riuh oleh politikus-politikus yang sibuk memoles citra menyongsong Pemilu 2024, Sumarsih dkk masih menekuri jalan sunyi.

Jalan sunyi di mana mereka betul-betul sendirian menuntut tanggung jawab negara dan suara yang mereka dengar hanya suara mereka sendiri.

“Memangnya masih ada Pemilu 2024? Bukankah akan 3 periode seperti Orde Baru?” kata Sumarsih berkelakar.

“Kalau ada Pemilu lagi di 2024, saya akan kampanye golput: golput makmur, golput sejahtera—seperti dulu bersama Pak Fadjroel (Rachman) yang belakangan bergabung dengan Pak Jokowi,” tutupnya.

https://nasional.kompas.com/read/2022/01/21/15535511/15-tahun-aksi-kamisan-harapan-itu-sebetulnya-sudah-sirna-kami-berkali-kali

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke