Salin Artikel

Bersatu Melawan Elite Predator Uang Rakyat

KORUPSI di Indonesia sangat memprihatinkan. Corrupton perception Index (CPI) 2020 yang dikeluarkan Transparancy International menempatkan Indonesia di posisi 102 dari 180 negara.

Skornya relatif rendah: 37 dengan skala 0- 100. Skor ini membuat Indonesia masuk sebagai negara yang highly corrupt.

Lebih memprihatinkan lagi, selama 10 tahun terakhir, CPI Indonesia hanya naik 5 poin. Artinya, upaya pemberantasan korupsi masih jauh panggang dari api.

Korupsi di negeri ini juga sangat memalukan. Para elite predator uang rakyat ada di hampir semua partai politik.

Para koruptor itu juga sebagian adalah para pejabat publik. Mereka yang seharusnya menjadi teladan malah jadi pelaku pelanggaran.

Ironisnya, hukuman untuk koruptor relatif ringan. Najwa Shihab menyebutkan, sebagian koruptor malah memperoleh diskon hukuman. Benar-benar memalukan!

Dalam kondisi yang memprihatinkan dan memalukan, pertanyaan relevan yang perlu diajukan, mengapa negeri ini sulit keluar dari korupsi?

Strategi apa yang perlu dilakukan agar pemberantasan korupsi berjalan dengan baik dan menggembirakan?

Tulisan ini menawarkan diagnosa dan strategi pemberantasan korupsi di Indonesia.

Budaya korupsi

Dalam tulisannya, Corruption: Diagnosis and Treatment, Alina Mungiu-Pippidi, pemimpin koalisi untuk parlemen bersih di Rumania, menawarkan usulan bagaimana mendiagnosa korupsi.

Menurutnya, sebelum treatment pemberantasan korupsi dilakukan, perlu ditentukan apakah korupsi yang terjadi merupakan budaya atau penyimpangan.

Untuk menjawabnya, menurut Alina, kita perlu menentukan: apakah kita berhadapan dengan korupsi di masyarakat tradisional atau di negara demokrasi?

Pada yang pertama korupsi berhubungan dengan kultur privilege, yaitu elite sosial tertentu yang dianggap wajar mendapat keuntungan dari statusnya. Sementara pada yang kedua, korupsi dilihat sebagai pelanggaran terhadap hukum.

Faktor religius kultural memang cukup dominan dalam praktik korupsi di Indonesia (Gerrit Singgih, 2012).

Budaya korupsi memang tidak terlihat. Tetapi ia dihidupi masyarakat Indonesia. Ibarat “setan di dalam diri”, ia jahat dan dibenci. Tapi hidup dan mendorong manusia korupsi.

Salah satunya, ia bekerja melalui budaya gengsi. Budaya ini mendorong orang ingin eksis melalui kepemilikan materi. Termasuk dengan korupsi.

Selain itu, ada asumsi religius yang dihidupi masyarakat Indonesia: mempersembahkan sesuatu kepada yang ilahi (sesajen) membuat seseorang mendapatkan berkah.

Berkah itu bisa didapat juga melalui penguasa, yang bisa menjadi perpanjangan tangan yang ilahi. Karena itu, penguasa juga perlu diormati. Mereka juga mendapat upeti. Dengan itu, masyarakat akan terpelihara dan terlindungi.

Menurut Alina, pandangan kultural seperti itu hidup dalam masyarakat tradisional yang patrimonial.

Sekelompok elite mendapat privilege untuk dilayani, mendapatkan “upeti” melalui suap dan berbagai keuntungan lainnya.

Dalam masyarakat demikian, korupsi tersentralisasi. Elite penguasa yang mendapatkan keuntungannya.

Seiring dengan reformasi, terjadi demokratisasi. Dalam rezim demokrasi, hukum menjadi panglima. Tidak ada satu kelompok yang mendapat privilege dan hidup di atas norma.

Tetapi itu tidak otomatis terjadi. Sebelum masyarakat demokratis terwujud, ada rezim transisi.

Di rezim transisi, nilai-nilai lama masih dihidupi. Pemahaman bahwa pejabat publik adalah kelompok khusus yang perlu dihormati masih ada.

Di tengah transisi ini, terjadi kompetisi antara aktor politik atau pejabat publik. Mereka berlomba-lomba meraih materi melalui korupsi.

Karena itu, kalau sebelumnya korupsi terpusat, kini korupsi terdesentralisasi. Menko Polhukam Mahfud MD pernah menyebut kalau korupsi saat ini lebih meluas di banding era Orde Baru.

Politokrasi yang tidak malu korupsi

Rezim transisi yang di dalamnya korupsi merajalela disebut politokrasi. Kekuasaan bukan di tangan rakyat tetapi di tangan penguasa politik.

Kedekatan dengan kekuatan politik menentukan apakah sumber daya materi akan didapatkan atau tidak.

Ini yang menyebabkan para pelaku korupsi sebagian besar berafiliasi dengan penguasa atau partai politik.

Ironisnya, pejabat publik atau tokoh politik yang tertangkap tangan kasus korupsi tidak merasa malu ketika mengenakan jaket kuning KPK.

Rasanya benar, tanpa sadar, korupsi itu ibarat iblis di dalam diri kita. Ia adalah budaya yang buruk: tidak kita sukai tapi dihidupi.

Para pencuri uang rakyat itu merasa dirinya elite yang punya privilege untuk mendapatkan uang lebih di luar gaji yang diterima.

Jadi tidak malu walau sudah OTT korupsi. Elite predator uang rakyat itu bahkan ada yang tersenyum sambil melambaikan tangan ke kamera yang meliput mereka.

Mungkin saja, budaya itu juga yang mempengaruhi putusan hukum atau tuntutan hukuman yang rendah untuk para koruptor. Hukuman mereka didiskon, karena pencurian uang rakyat dianggap budaya atau hal yang biasa.

Diagnosa bahwa korupsi menjadi budaya semakin tegak dengan memperhatikan pledoi Mensos, Juliari Batubara. Alih-alih meminta maaf kepada rakyat, ia hanya meminta maaf kepada Jokowi dan Megawati.

Dengan itu Juliari hendak menyampaikan pesan: hanya penguasa yang perlu dihormati. Rakyat bagaimana? Tidak perlu. Sebab status mereka di bawah. Uang yang menjadi hak rakyat wajar dikorupsi sebab itu semacam upeti untuk penguasa.

Strategi mengatasi korupsi

Jika korupsi adalah budaya dan itu ibarat setan yang ada di dalam diri kita, maka upaya mengatasi korupsi adalah dengan mengusir setan tersebut.

Rakyat harus bersatu melawan elite predator yang merasa berhak dan menganggap wajar korupsi. Rakyat perlu mengoordinasi diri bersama civil society dan lembaga agama untuk melawan kuasa demonis yang bekerja di dalam dan melalui para koruptor.

Sasaran perlawanannya jelas: setan yang suka bergentayangan dekat dengan kekuasaan. Kelompok agama perlu menjadi motor perlawanan tersebut sebab itu adalah salah satu core bussiness-nya.

Perlawanan juga perlu dilakukan melalui pendekatan budaya sebab korupsi menjadi bagian dari budaya.

Kedua, menginstitusionalisasi perlawanan anti korupsi. KPK sebetulnya sejalan dengan strategi ini. Sayangnya, ketika ada intervensi kekuasan terhadap kemandirian KPK melalui UU revisi KPK (besarnya kekuasaan dewan pengawas atau pegawai KPK yang menjadi ASN), maka KPK sudah tidak lagi netral dan sulit diharapkan dapat memberantas korupsi.

Mengapa? Sebab dalam banyak kasus, korupsi itu bersifat politik. Ketika kekuasaan politik yang biasa menjadi pelaku korupsi bisa mengintervensi KPK, sulit berharap KPK bisa bisa menjalankan fungsinya.

Terakhir, mendorong terwujudnya kehidupan beragama yang kaya etika. Agama dalam perbuatan, bukan sekadar agama yang berfokus pada ritual atau ajaran.

Akan baik jika ada apresiasi untuk pemeluk agama yang mampu hidup jujur dan tidak korupsi. Termasuk mengapresiasi pemeluk agama yang mampu memberantas korupsi.

Jika itu terjadi, kompetisi antar pemeluk agama yang kadang terjadi di negeri ini akan berdampak positif.

Agama-agama dipersilakan untuk berkompetisi dalam berbuat baik. Jadi tidak sekadar ribut mengeklaim diri sebagai pemeluk agama terbaik.

https://nasional.kompas.com/read/2021/08/24/06070011/bersatu-melawan-elite-predator-uang-rakyat

Terkini Lainnya

Komisi X DPR RI Bakal Panggil Nadiem Makarim Imbas Kenaikan UKT

Komisi X DPR RI Bakal Panggil Nadiem Makarim Imbas Kenaikan UKT

Nasional
Jawab Kebutuhan dan Tantangan Bisnis, Pertamina Luncurkan Competency Development Program

Jawab Kebutuhan dan Tantangan Bisnis, Pertamina Luncurkan Competency Development Program

Nasional
Kemenag: Jemaah Haji Tanpa Visa Resmi Terancam Denda 10.000 Real hingga Dideportasi

Kemenag: Jemaah Haji Tanpa Visa Resmi Terancam Denda 10.000 Real hingga Dideportasi

Nasional
Hari Ke-6 Pemberangkatan Haji, 41.189 Jemaah Asal Indonesia Tiba di Madinah

Hari Ke-6 Pemberangkatan Haji, 41.189 Jemaah Asal Indonesia Tiba di Madinah

Nasional
UKT Naik Bukan Sekadar karena Status PTNBH, Pengamat: Tanggung Jawab Pemerintah Memang Minim

UKT Naik Bukan Sekadar karena Status PTNBH, Pengamat: Tanggung Jawab Pemerintah Memang Minim

Nasional
Di APEC, Mendag Zulhas Ajak Jepang Perkuat Industri Mobil Listrik di Indonesia

Di APEC, Mendag Zulhas Ajak Jepang Perkuat Industri Mobil Listrik di Indonesia

Nasional
Biaya UKT Naik, Pengamat Singgung Bantuan Pendidikan Tinggi Lebih Kecil dari Bansos

Biaya UKT Naik, Pengamat Singgung Bantuan Pendidikan Tinggi Lebih Kecil dari Bansos

Nasional
Penuhi Kebutuhan Daging Sapi Nasional, Mendag Zulhas Dorong Kerja Sama dengan Selandia Baru

Penuhi Kebutuhan Daging Sapi Nasional, Mendag Zulhas Dorong Kerja Sama dengan Selandia Baru

Nasional
UKT Naik, Pengamat: Jangan Sampai Mahasiswa Demo di Mana-mana, Pemerintah Diam Saja

UKT Naik, Pengamat: Jangan Sampai Mahasiswa Demo di Mana-mana, Pemerintah Diam Saja

Nasional
Profil Mayjen Dian Andriani, Jenderal Bintang 2 Perempuan Pertama TNI AD

Profil Mayjen Dian Andriani, Jenderal Bintang 2 Perempuan Pertama TNI AD

Nasional
Status Gunung Ibu di Halmahera Meningkat, Warga Dilarang Beraktivitas hingga Radius 7 Kilometer

Status Gunung Ibu di Halmahera Meningkat, Warga Dilarang Beraktivitas hingga Radius 7 Kilometer

Nasional
Anies Mau Istirahat Usai Pilpres, Refly Harun: Masak Pemimpin Perubahan Rehat

Anies Mau Istirahat Usai Pilpres, Refly Harun: Masak Pemimpin Perubahan Rehat

Nasional
Istana Disebut Belum Terima Draf Revisi UU Kementerian Negara

Istana Disebut Belum Terima Draf Revisi UU Kementerian Negara

Nasional
Grace dan Juri Jadi Stafsus, Ngabalin Sebut Murni karena Kebutuhan Jokowi

Grace dan Juri Jadi Stafsus, Ngabalin Sebut Murni karena Kebutuhan Jokowi

Nasional
Revisi UU Kementerian Disetujui, RUU Perampasan Aset Hilang

Revisi UU Kementerian Disetujui, RUU Perampasan Aset Hilang

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke