Salin Artikel

Menangkap Pesan Kebhinekaan di Baliho Puan Maharani yang Jadi Polemik

BALIHO politik yang menampilkan wajah Ketua DPR Puan Maharani dengan tagline “Kepak Sayap Kebhinekaan” belakangan ini begitu hangat menjadi opini publik.

Beberapa pihak menjadikannya sebagai polemik, dengan balutan politik yang di dalamnya terdapat kritik dan intrik. Argumentasinya, sosialisasi membangun citra diri di masa pandemi bukan tindakan yang simpatik.

Namun, tidak sedikit pula yang memberikan pembelaan bahwa hal itu adalah suatu kewajaran dalam politik. Terlebih lagi, pesan dalam baliho politik itu mengandung ajakan yang mendidik, di tengah situasi dan fenomena kebhinekaan bangsa ini yang acap kali tercabik.

Di luar polemik tersebut, hal yang menarik untuk dikaji adalah soal bagaimana kita harus memaknai kebhinekaan, yang dalam keseharian bermasyarakat dan bernegara interaksinya tak bisa terhindarkan.

Transformasi kebhinekaan

Kebhinekaan adalah warisan etnisitas yang telah melahirkan nilai-nilai luhur dari leluhur masyarakat Nusantara, yang kini bernama Indonesia.

Ia menjadi kata dan fakta yang oleh para Founding Fathers ditransformasikan ke dalam identitas nasional bangsa lewat semboyan Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu.

Warisan kebhinekaan menjadi salah satu faktor yang dari sisi etnisitas sangat sulit untuk terakomodir semua kepentingannya. Namun, itu bukan alasan untuk membuat etnisitas tidak bisa diikat dalam balutan nasionalisme.

Maka, sudah sangat tepat manakala dalam penetapan bentuk, dasar, serta konstitusi Indonesia sebagai piranti Negara tidak dibuka ruang untuk menggunakan pendekatan mayoritas-minoritas ataupun inferior-superior.

Itu adalah konsekuensi logis. Sesuai sosio historisnya, Indonesia yang merdeka pada 17 Agustus 1945 memilih gagasan bernegaranya adalah nation-state (negara-bangsa).

Dengan gagasan negara-bangsa, perbedaan suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) dirajut dalam bingkai nasionalisme, dengan piranti permusyawaratan atau permufakatan sebagaimana tercantum dalam sila keempat Pancasila.

Permusyawaratan atau permufakatan merupakan instrumen solusi dalam mengelola kebhinekaan. Suatu prinsip dasar yang oleh Ir Soekarno dalam Pidato 1 Juni 1945 tentang Pancasila disebut mufakat atau demokrasi dengan argumen.

“Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan Negara, semua buat semua, satu buat semua, semua buat satu.”

Dengan konsep itu, di dalam jiwa jutaan warga negara Indonesia dengan kebhinekaan-nya, terpatri kesatuan rasa memiliki, cinta, kesediaan mengabdi, dan kesiapan berkorban demi bangsa, sekalipun mereka tidak mengenal satu sama lain. 

Ini sejalan dengan konsep dari Benedict Anderson (1991) dalam karyanya Imagined Communities Reflection on the Origin and Spread of Nationalism. 

Bangsa adalah imagined community (komunitas imajiner), yaitu komunitas politik yang mencakup jutaan orang yang di dalamnya tidak pernah saling mengenal dan melihat tetapi punya kesatuan rasa serta kemauan untuk membayar pajak, mengabdi, bahkan mengorbankan nyawanya demi bangsa.

Fitrah kebangsaan

Semangat kebhinekaan memang selayaknya terus hidup dalam setiap jiwa anak bangsa, karena rajutan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bertumpu di atasnya.

Ia tidak boleh usang dengan alasan perkembangan teknologi dan informasi. Tak boleh lekang juga dengan pengaruh revolusi industri 4.0 yang membutuhkan transformasi fundamental di segala lini pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Upaya untuk mampu bersaing dengan dunia global—dengan menyiapkan kompetensi sumber daya manusia (SDM) serta kecanggihan piranti teknologi—tidak boleh menjadi alasan untuk mengesampingkan kebhinekaan.

Semua upaya itu tetap harus dalam satu tarikan napas. Kebhinekaan merupakan oksigen yang menjadikan Indonesia tetap kokoh hingga kini dalam bingkai Negara kesatuan.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik hasil sensus penduduk 2010, ada 1.331 kelompok suku di Indonesia. Data Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pun mencatat setidaknya ada 652 bahasa daerah di Nusantara. 

Kebhinekaan juga merupakan suatu keniscayaan atau sunatullah, ketetapan alam yang menjadi kehendak Tuhan. Itulah prinsip kebangsaan yang oleh Bung Karno didalilkan dalam pidato di Sidang Umum ke-XV PBB pada 30 September 1960.

Dalam pidato yang diberi judul To Build The World A New itu, Bung Karno menyitir Al Quran surat Al-Hujarat ayat ke-13.

Terjemahan ayat itu, “Hai manusia, sesungguhnya Kami (Allah SWT) menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.

Dengan demikian, sesungguhnya upaya-upaya untuk menggelorakan kebhinekaan dengan menempatkannya sebagai hal yang selalu relevan dalam konteks bernegara merupakan langkah tepat dalam menjaga fitrah kebangsaan.

Kebhinekaan kini

Meskipun secara umum kita tetap mensyukuri bahwa keberagaman bangsa ini di usianya yang sudah memasuki 76 tahun tetap menjunjung nilai-nilai persatuan, ada celah yang lambat laun rawan melebar dan mudah disulut. Ada situasi bagai api dalam sekam.

Sebagai gambaran, dalam konteks bermasyarakat dan bernegara, buah dari kebhinekaan adalah hidup toleran, yaitu berdampingan secara damai dan saling menghargai dalam keragaman.

Namun, temuan riset menunjukkan ada gejala yang cukup mengkhawatirkan, yang rawan mencadi ancaman bagi kebhinekaan bangsa Indonesia dan kehidupan masyarakat yang toleran.

Misalnya, temuan riset Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta yang dirilis pada Maret 2021 lalu menunjukkan bahwa 30,16 persen mahasiswa Indonesia masuk kategori rendah sikap toleransinya.

Rinciannya, mahasiswa yang sikap toleransi beragama rendah sebanyak 24,89 persen dan yang sangat rendah sikap toleransinya sebanyak 5,27 persen.

Fakta itu cukup mencengangkan karena terjadi di kalangan mahasiswa, yang merupakan pemegang masa depan bangsa, yang padanya melekat label agent of change.

Dalam konteks sekarang, mahasiswa seharusnya adalah kaum terpelajar dan terdidik yang paling adaptif mengikuti perkembangan revolusi industri 4.0 dalam bidang teknologi dan informasi.

Padahal, Hellen Keller—poling Gallup menyebutnya sebagai salah satu dari 18 tokoh paling dikagumi dunia—dalam buku memoar The Story of My Life  menulis, “Hasil tertinggi dari pendidikan adalah toleransi.”

Karenanya, hasil riset PPIM UIN Jakarta adalah hal yang cukup merisaukan, ketika terdapat jumlah signifikan mahasiswa rawan mengikuti perkembangan zaman tanpa dituntun ideologi, sehingga mengabaikan sikap toleran, dan menjadikan kebhinekaan sekadar slogan.

Pesan kebhinekaan

Merujuk pada konsepsi mengenai kebhinekaan tersebut di atas dengan berbagai tantangan dan celah kerawanan yang bisa menjadi ancaman, sangat relevan manakala dalam konteks kekinian seorang aktor dan komunikator politik seperti Ketua DPR Puan Maharani menjadikan kebhinekaan sebagai narasi utama dalam pesan komunikasi politiknya.

Baliho politik bergambar Puan Maharani dengan tagline “Kepak Sayap Kebhinekaan” yang dipasang hampir merata di seluruh Indonesia oleh kader dan pengurus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) perlu disikapi secara positif, agar masalah kebhinekaan menjadi diskursus di ruang publik (public sphere).

Dengan menjadikan ruang publik sebagai diskursus politik yang mendidik, ada ruang bagi khalayak untuk memberikan umpan balik soal pesan kebhinekaan agar tidak berhenti sebatas slogan.

Bukankah juga terlalu sempit jika menjadikan pesan kebhinekaan sebagai polemik electoral politics?

Maka, tampaknya akan jauh lebih konstruktif dan substantif menjadikan baliho “Kepak Sayap Kebhinekaan” yang sudah masuk public sphere untuk memaknai dan meresapi kembali implementasi nilai dasar kebhinekaan dalam kehidupan bermsyarakat dan kebijakan-kebijakan penyelenggara pemerintahan.

Pemaknaan “Kepak Sayap Kebhinekaan” sebagaimana disampaikan Ketua DPP PDI-P Bambang Wuryanto—seperti dikutip Kompas.com edisi Sabtu (7/8/2021)—yang menggunakan analogi Burung Garuda dengan kepak sayap berirama serta bekerja sama sayap kiri dan kanan ketika terbang, adalah ajakan dan upaya mengampanyekan persatuan.

Maka, umpan balik (feedback) dari pesan komunikasi itu harusnya diarahkan untuk menggugat praktik politik dan pengelolaan pemerintahan yang intoleran dan mengabaikan prinsip kebhinekaan.

Di sisi lain, pesan kebhinekaan yang menjadi diskursus substantif di ruang publik juga diharapkan akan semakin menumbuhkembangkan kesadaran betapa berharganya persatuan dan kesatuan di tengah keberagaman masyarakat di Indonesia yang sama-sama kita cintai ini.

https://nasional.kompas.com/read/2021/08/18/06163281/menangkap-pesan-kebhinekaan-di-baliho-puan-maharani-yang-jadi-polemik

Terkini Lainnya

Rancangan Peraturan KPU, Calon Kepala Daerah Daftar Pilkada 2024 Tak Perlu Lampirkan Tim Kampanye

Rancangan Peraturan KPU, Calon Kepala Daerah Daftar Pilkada 2024 Tak Perlu Lampirkan Tim Kampanye

Nasional
Nasdem dan PKB Dukung Prabowo-Gibran, PAN Sebut Jatah Kursi Menteri Parpol Koalisi Tak Terganggu

Nasdem dan PKB Dukung Prabowo-Gibran, PAN Sebut Jatah Kursi Menteri Parpol Koalisi Tak Terganggu

Nasional
Bilang Jokowi Sangat Nyaman, PAN Janjikan Jabatan Berpengaruh

Bilang Jokowi Sangat Nyaman, PAN Janjikan Jabatan Berpengaruh

Nasional
KPU Godok Aturan Baru Calon Kepala Daerah Pakai Ijazah Luar Negeri

KPU Godok Aturan Baru Calon Kepala Daerah Pakai Ijazah Luar Negeri

Nasional
Status Perkawinan Prabowo-Titiek Tertulis 'Pernah', Apa Maknanya?

Status Perkawinan Prabowo-Titiek Tertulis "Pernah", Apa Maknanya?

Nasional
Wamenhan Terima Kunjungan Panglima AU Singapura, Bahas Area Latihan Militer

Wamenhan Terima Kunjungan Panglima AU Singapura, Bahas Area Latihan Militer

Nasional
Pengamat: Anies Ditinggal Semua Partai Pengusungnya, Terancam Tak Punya Jabatan Apa Pun

Pengamat: Anies Ditinggal Semua Partai Pengusungnya, Terancam Tak Punya Jabatan Apa Pun

Nasional
Pilkada 2024: Usia Calon Gubernur Minimum 30 Tahun, Bupati/Wali Kota 25 Tahun

Pilkada 2024: Usia Calon Gubernur Minimum 30 Tahun, Bupati/Wali Kota 25 Tahun

Nasional
Menlu Sebut Judi 'Online' Jadi Kejahatan Transnasional, Mengatasinya Perlu Kerja Sama Antarnegara

Menlu Sebut Judi "Online" Jadi Kejahatan Transnasional, Mengatasinya Perlu Kerja Sama Antarnegara

Nasional
PDI-P Percaya Diri Hadapi Pilkada 2024, Klaim Tak Terdampak Jokowi 'Effect'

PDI-P Percaya Diri Hadapi Pilkada 2024, Klaim Tak Terdampak Jokowi "Effect"

Nasional
Harap Kemelut Nurul Ghufron dan Dewas Segera Selesai, Nawawi: KPK Bisa Fokus pada Kerja Berkualitas

Harap Kemelut Nurul Ghufron dan Dewas Segera Selesai, Nawawi: KPK Bisa Fokus pada Kerja Berkualitas

Nasional
Hasto Ungkap Jokowi Susun Skenario 3 Periode sejak Menang Pilpres 2019

Hasto Ungkap Jokowi Susun Skenario 3 Periode sejak Menang Pilpres 2019

Nasional
Ikut Kabinet atau Oposisi?

Ikut Kabinet atau Oposisi?

Nasional
Gugat KPU ke PTUN, Tim Hukum PDI-P: Uji Kesalahan Prosedur Pemilu

Gugat KPU ke PTUN, Tim Hukum PDI-P: Uji Kesalahan Prosedur Pemilu

Nasional
Said Abdullah Paparkan 2 Agenda PDI-P untuk Tingkatkan Kualitas Demokrasi Elektoral

Said Abdullah Paparkan 2 Agenda PDI-P untuk Tingkatkan Kualitas Demokrasi Elektoral

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke