Salin Artikel

Yasonna: KUHP Warisan Kolonial Banyak Menyimpang dari Asas Hukum Pidana Umum

JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly mengatakan, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang merupakan warisan kolonial Belanda telah banyak menyimpang dari asas hukum pidana umum.

"KUHP warisan Kolonial Belanda telah berkembang secara masif dan banyak menyimpang dari asas-asas hukum pidana umum," kata Yasonna dikutip dari Antara, Senin (14/6/2021).

Perkembangan ini, kata Yasonna, berkaitan erat dengan hukum pidana murni maupun hukum pidana administratif.

Terutama mengenai tiga permasalahan utama dalam hukum pidana sebagaimana dikemukakan Packer dalam The Limits of The Criminal Sanctions.

Pertama, kata dia, perumusan perbuatan yang dilarang, kedua perumusan pertanggungjawaban pidana, dan perumusan sanksi baik berupa pidana maupun tindakan.

Skema pemidanaan konvensional selalu berfokus pada ketiga permasalahan tersebut tanpa mempertimbangkan tujuan dari pemidanaan, sehingga pidana seolah-olah dipandang sebagai konsekuensi absolut sebagai cerminan dari asas in cauda venemun.

Padahal, menurut politisi PDI-P ini, sistem pemidanaan modern seharusnya selalu mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan baik yang berkaitan dengan pelaku tindak pidana atau korban.

Yasonna mengatakan, revisi KUHP (RKUHP) merupakan salah satu upaya pemerintah menyusun rekodifikasi hukum pidana nasional untuk menggantikan KUHP lama produk hukum pemerintahan zaman Kolonial Hindia Belanda.

"Upaya rekodifikasi ini ditujukan untuk menyelesaikan permasalahan yang muncul karena ketidakjelasan pemberlakuan Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie," kata dia.

Sebelumnya diberitakan, pemerintah akan mengusulkan RKUHP masuk daftar program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2021. Yasonna mengatakan, pemerintah telah menyosialisasikan RKUHP kepada masyarakat di 11 daerah. 

Ia mengakui, ada pro-kontra yang timbul di masyarakat terkait draf RKUHP yang disosialisasikan oleh pemerintah. Namun, Yasonna menganggap itu merupakan hal biasa.

Aliansi nasional reformasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyayangkan sosialisasi yang dilakukan Kemenkumham.

Perwakilan aliansi sekaligus Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengatakan, draf RKUHP yang disosialisasikan tak mengalami perubahan dari draf yang batal disahkan pada September 2019.

"Draf RKUHP yang disebarkan tersebut ternyata draf tanpa ada perubahan sama sekali dengan draf RKUHP yang ditolak masyarakat pada September 2019 lalu," ujar Isnur dalam keterangan tertulis, Selasa (8/6/2021).

Sejumlah pasal kontroversial masih tetap ada kendati pernah dikritik masyarakat karena dianggap akan memberangus kebebasan sipil.

Berdasarkan catatan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) atas draf RKUHP versi September 2019, terdapat sejumlah pasal yang berpotensi memberangus kebebasan sipil.

Misalnya, pasal mengenai tindak pidana penyerangan terhadap kehormatan atau harkat dan martabat presiden serta wakil presiden.

Dalam putusannya pada 2006, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan ketentuan ini sudah tidak relevan.

Sebab, pasal penghinaan presiden menegasikan prinsip persamaan di depan hukum, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran, pendapat, kebebasan akan informasi dan prinsip kepastian hukum.

Kemudian, ketentuan pidana mengenai penghinaan terhadap pemerintah, kekuasaan umum dan lembaga negara.

https://nasional.kompas.com/read/2021/06/14/23142131/yasonna-kuhp-warisan-kolonial-banyak-menyimpang-dari-asas-hukum-pidana-umum

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke