JAKARTA, KOMPAS.com - Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Selamatkan Mahkamah Konstitusi mengajukan judicial review atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi (MK).
"Kami mengajukan permohonan pengujian formil dan juga materil terhadap Undang-Undang perubahan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi," kata peneliti KoDe Inisiatif, salah satu anggota koalisi, dalam konferensi pers, Selasa (3/11/2020).
Koalisi menilai, penyusunan UU Mahkamah Konstitusi cacat formil karena proses pembentukan yang terburu-buru, yakni dalam waktu 3 hari serta dilakukan secara tertutup di tengah pandemi Covid-19.
Menurut Koalisi, ada enam permasalahan formil yang serius dalam pembentukan UU MK.
Pertama, proses pembahasan dilakukan secara tertutup, tidak melibatkan publik, tergesa-gesa, serta tidak memperlihatkan sense of crisis pandemi Covid-19.
Kedua, pembentuk undang-undang melakukan penyelundupan hukum dengan dalih menindaklanjuti putusan MK. Ketiga, RUU MK tidak memenuhi syarat carry over.
Keempat, pembentuk UU melanggar asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yakni kejelasan tujuan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan, dan keterbukaan.
Kelima, naskah akademik RUU MK dinilai hanya formalitas.
Keenam, RUU MK berdasar pada undang-undang yang invalid, yakni Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang MK. Undang-undang tersebut telah dibatalkan MK pada 2014 lalu.
Selain itu, Koalisi menilai pengabaian prinsip-prinsip demokrasi dalam proses pembentukan UU MK menghasilkan materi muatan yang jauh dari penguatan kelembagaan dan kewenangan MK.
Koalisi mengajukan uji materiil yang berkaitan dengan lima hal.
Pertama, meminta pendaftaran dan pencalonan hakim konstitusi harus terbuka seluas-luasnya untuk semua negarawan, tidak terbatas pada latar belakang profesi hukumnya.
Kedua, meminta MK menafsirkan sistem rekrutmen hakim konstitusi untuk berlaku secara seragam dan dengan standar yang sama pada setiap lembaga pengusul yakni DPR, Mahkamah Agung, dan Presiden.
Ketiga, usia minimal hakim Konstitusi harus dikembalikan ke usia yang lebih muda (47 tahun) agar terdapat regenerasi dan membuka peluang yang lebih luas.
Keempat, putusan MK harus dianggap sebagai sumber hukum dan aktor yang harus menindaklanjuti perlu diperluas, tidak hannya DPR dan Pemerintah, tetapi juga setiap lembaga negara dan pihak-pihak terkait.
Kelima, perpanjangan masa jabatan wajib berlaku untuk hakim konstitusi yang menjabat pada periode selanjutnya untuk menghindari konflik kepentingan dan menghindari upaya penundukkan MK.
Violla mengatakan, revisi UU MK tidak hanya berdampak pada hakim konstitusi dan lembaga MK, melainkan juga bagi kepentingan masyarakat dan tegaknya nilai-nilai konstitusi.
"Ini adalah tentang warga negara yang membutuhkan suatu peradilan, suatu kekuasaan yang independen dan imparsial, untuk melindungi hak konstitusional mereka dan juga untuk menegakkan nilai-nilai konstitusi," ujar Violla.
Adapun para pemohon judicial review adalah Violla Reininda (Peneliti KoDe Inisiatif), M Ihsan Maulana (Peneliti KoDe Inisiatif), Rahmah Mutiara (Peneliti KoDe Inisiatif), Korneles Materay (Peneliti Bung Hatta Anti-Corruption Award), Beni Kurnia Illahi (Dosen Fakultas Hukum Universitas Bengkulu), Giri Ahmad (Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jentera), dan Putra Perdana (Dosen Fakultas Hukum Universitas Bengkulu).
Sementara, Koalisi Selamatkan MK terdiri atas sejumlah organisasi yakni Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif, Indonesia Corruption Watch (ICW), Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan.
Kemudian, Pilnet Indonesia, dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Puskapa, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, IJRS, ICJR, LBH Masyarakat, LBH Jakarta, KontraS, ELSAM, ICEL, Imparsial, dan LBH Apik Jakarta.
https://nasional.kompas.com/read/2020/11/03/19262051/koalisi-selamatkan-mahkamah-konstitusi-ajukan-uji-formil-dan-materiil-uu-mk