Serangkaian protokol kesehatan dibuat untuk melindungi manusia dari penularan virus yang secara ilmiah bernama Severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2).
Protokol yang dimaksud, yakni mengenakan masker, mencuci tangan sesering mungkin dan menjaga jarak fisik dengan orang lain.
Demi memastikan masyarakat terlindungi dengan protokol kesehatan itu, pemerintah pun menerbitkan sejumlah regulasi.
Di dalamnya, terdapat sanksi bagi mereka yang masih bandel tidak mau menerapkan protokol kesehatan.
Berikut aturan yang diterbitkan pemerintah selama pandemi yang kini sudah masuk enam bulan:
Maklumat Kapolri
Maklumat Kapolri Nomor Mak/2/III/2020 tentang Kepatuhan terhadap Kebijakan Pemerintah dalam Penanganan Penyebaran Virus Corona (Covid-19) mengatur sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan.
Maklumat tersebut dikeluarkan Kapolri Jenderal Idham Azis pada tanggal 19 Maret 2020 atau 17 hari setelah pengumuman kasus perdana Covid-19 di Indonesia.
Tindakan pengumpulan massa yang dilarang antara lain, pertemuan sosial, budaya, keagamaan, dan aliran kepercayaan, konser musik, resepsi keluarga, kegiatan olahraga, unjuk rasa, serta kegiatan lainnya.
Masyarakat juga diminta tidak menimbun bahan pokok sekaligus menyebarkan berita bohong atau hoaks.
Idham meminta jajarannya menindak tegas mereka yang melanggar maklumat tersebut.
Bahkan, bagi mereka yang melanggar imbauan polisi untuk membubarkan diri, akan diancam hukuman pidana.
"Apabila ada masyarakat yang membandel yang tidak mengindahkan perintah personel yang bertugas untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara, kami akan proses hukum," ujar Irjen (Pol) Muhammad Iqbal yang kala itu menjabat sebagai Kepala Divisi Humas Polri di Mabes Polri, Jakarta Selatan, 23 Maret 2020.
Mereka yang melanggar terancam dijerat Pasal 212 KUHP, Pasal 216 KUHP dan Pasal 218 KUHP. Ancaman hukumannya adalah satu tahun empat bulan penjara.
Akan tetapi, Polri mengklaim penegakan hukum merupakan pilihan terakhir apabila upaya preemtif dan preventif tidak berhasil.
Setelah maklumat itu terbit, polisi banyak melakukan kegiatan pembubaran massa yang masih berkerumun.
Setelah beberapa bulan berjalan dengan kritik sana-sini terkait pengawasa, Idham mencabut maklumat tersebut. Tepatnya pada 25 Juni 2020.
Pencabutan itu dilakukan dalam rangka menuju adaptasi terhadap tatanan kehidupan baru atau new normal.
Akan tetapi Polri mengaku akan tetap mendisiplinkan masyarakat dalam menjalankan protokol kesehatan.
"Pengawasan dan pendisiplinan kepada masyarakat untuk tetap mematuhi protokol kesehatan seperti memakai masker, jaga jarak, mencuci tangan dan menerapkan pola hidup bersih dan sehat," kata Kepala Divisi Humas Polri Irjen (Pol) Argo Yuwono melalui keterangan tertulis, 26 Juni 2020.
Pencabutan maklumat pun dibayang-bayangi ancaman munculnya klaster baru mengingat kegiatan kerumunan massa tak lagi dilarang.
Inpres Jokowi
Setelah maklumat Kapolri, giliran Presiden Joko Widodo yang menyinggung perihal pemberian sanksi bagi masyarakat yang tak patuh terhadap protokol kesehatan.
"Memang harus diberi sanksi. Kalau enggak, masyarakat kita ini tidak memiliki kesadaran untuk pakai masker, untuk jaga jarak," kata Presiden Jokowi sebagaimana dikutip dari situs resmi Sekretariat Kabinet, 15 Juli 2020.
Maka dari itu, presiden pun merumuskan Instruksi Presiden (Inpres) sebagai dasar hukum pemberian sanksi kepada pelanggar protokol kesehatan.
Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2020 tentang Peningkatan Disipilin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 tersebut akhirnya diteken tanggal 4 Agustus 2020.
Melalui Inpres itu, Presiden Jokowi memerintahkan seluruh kepala daerah membuat peraturan pencegahan Covid-19 yang wajib memuat sanksi bagi pelanggarnya.
Sanksi berlaku bagi pelanggar yang merupakan, individu, pelaku usaha, pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab sebuah tempat atau fasilitas umum.
Sanksi yang dimaksud itu dapat berupa teguran lisan atau tertulis, kerja sosial, denda administratif hingga penghentian atau penutupan sementara.
Sejumlah daerah pun menerapkan sanksi dengan beragam bentuk, antara lain hukuman push-up, menyapu jalan dan denda uang.
Meskipun penerapan sanksi terlihat di beberapa pemberitaan, akan tetapi jumlah kasus Covid-19 di Tanah Air belum menunjukan tanda-tanda melambat.
Bahkan, kasusnya malah mencapai rekor tertinggi selama tiga hari beturut-turut pada 27-29 Agustus 2020.
Dinilai Tak Cukup
Sosiolog Universitas Indonesia (UI) Imam Prasodjo menilai, penerapan sanksi dapat menjadi salah satu pendorong masyarakat menjalankan protokol kesehatan.
"Sanksi, bisa menjadi salah satu pendorong, bisa sanksi positif, bisa sanksi negatif, bisa reward and punishment. Tapi lagi-lagi, prasyarat dasar itu menurut saya harus dipenuhi," kata Imam ketika dihubungi Kompas.com, Selasa (1/9/2020).
Menurutnya, terdapat sejumlah tahapan dalam mengubah perilaku seseorang.
Pertama, pentingnya pemahaman seseorang perihal manfaat dari protokol kesehatan untuk dirinya dan orang lain.
Meski memahami pentingnya protokol kesehatan, seseorang belum tentu melaksanakannya. Orang tersebut juga perlu termotivasi untuk menjalankan protokol kesehatan.
Kemudian, hal lainnya adalah kemampuan orang itu menjalankan protokol kesehatan, termasuk dari segi kemampuan fisik maupun ekonomi.
Infrastruktur seperti tempat cuci tangan juga harus disediakan pemerintah supaya mudah diakses.
Faktor berikutnya yang mendorong perubahan perilaku seseorang adalah dorongan sosial. Misalnya, regulasi yang berlaku.
Regulasi juga perlu dilengkapi dengan infrastruktur sosial, yaitu petugas yang mengawasi.
"Di Indonesia ini, kesan saya, baru sebatas imbauan, belum sampe ke infrastruktur tadi, infrastruktur fisik maupun sosial. Tetapi mau langsung jump, langsung loncat ke sanksi," tutur dia.
Ia pun tak memungkiri proses mengubah perilaku masyarakat membutuhkan proses yang panjang.
Setidaknya terdapat tiga sektor yang perlu mendapat sosialisasi secara gencar serta didukung dengan kelengkapan infrastruktur.
"Tiga itu diguyur pakai sosialisasi, pakai kelengkapan infrastruktur sosial dan infrastruktur fisik. Baru jalan," ungkap Imam.
"Kalau cuma sanksi-sanksi kayak gitu, ya capek saja orang yang suruh ngawal di jalan. Tidak berbasis pada sebuah comprehenssive approach," sambung dia.
https://nasional.kompas.com/read/2020/09/03/09021211/enam-bulan-pandemi-covid-19-sulitnya-mengubah-perilaku-masyarakat