Hingga Rabu (15/7/2020) sore ini, muncul petisi dengan tagar seperti #AtasiVirusCabutOmnibus, #SahkanRUUPKS, #StopObralTanah, dan #GagalkanOmnibusLaw yang ramai beredar di media sosial.
Petisi untuk kembali menggiatkan gerakan #ReformasiDikorupsi juga muncul, bahkan sudah ditandatangani jutaan netizen.
"Untuk movement page #ReformasiDikorupsi-nya di Change.org sejauh ini ada 2.8 juta dukungan," kata Nova Wulandari selaku campaigner di Change.org dihubungi Kompas.com, Rabu (15/7/2020) sore.
Jumlah dukungan tersebut merupakan akumulasi dari jumlah petisi-petisi yang ada dalam gerakan #ReformasiDikorupsi.
"Khususnya untuk omnibus law, itu mulai akhir Januari, petisinya meminta untuk buka akses informasi dan partisipasi omnibus law," tutur Nova.
Sementara itu, pembuat petisi "Atasi Virus, Cabut Omnibus", Asep Komarudin mengatakan, sampai saat ini DPR masih membahas sejumlah RUU yang kontroversial seperti RUU Cipta Kerja, saat Indonesia dilanda pandemi Covid-19.
Apalagi, kata dia, RUU tersebut dinilai sarat kepentingan bisnis dan hanya menguntungkan penguasa dan pengusaha.
"Hampir 8 bulan sejak kita turun ke jalan September 2019 lalu. Sekarang, reformasi (masih) dikorupsi," ujar Asep.
"Di tengah pandemi, para wakil rakyat di Senayan getol membahas sejumlah Rancangan Undang-Undang (RUU) kontroversial yang sarat kepentingan bisnis, walaupun sudah diprotes di sana sini," kata dia.
Senada, Komite Nasional Pembaruan Agraria yang membuat petisi "Stop Obral Tanah" menyatakan, semua pihak bisa terancam jika RUU Cipta Kerja disahkan.
Sebab, menurut dia, RUU tersebut lebih banyak mengakomodasi kepentingan kelompok besar dan mendiskriminasikan rakyat kecil.
"Enggak cuma buruh yang terancam. Kita semua, termasuk petani, nelayan, dan masyarakat adat akan dirugikan kalau RUU ini disahkan. Karena RUU ini lebih banyak mengakomodasi kepentingan kelompok pemodal besar dan mendiskriminasi hak-hak rakyat kecil."
"Di RUU Pemasyarakatan ini, PP Nomor 99 Tahun 2012 bakal dihapus dan dikembalikan ke PP Nomor 32 Tahun 1999 yang syarat pengurangan hukuman untuk napi korupsinya sangat longgar. Masa sih negara mau menyamakan napi korupsi dengan napi kasus biasa?” kata Korneles Materay.
Sebelumnya, pada September 2019, gerakan Reformasi Dikorupsi muncul sebagai gelombang protes dari rakyat yang tak setuju dengan kebijakan DPR untuk mengesahkan sejumlah Rancangan Undang-Undang (RUU) kontroversial.
Ribuan mahasiswa turun ke jalan dan bersuara lewat media sosial, termasuk petisi, menyampaikan aksi penolakan.
Tahun ini, sejumlah RUU kontroversial yang dibahas oleh wakil rakyat di Senayan kembali menjadi perhatian publik.
Dari mulai disahkannya RUU Minerba, yang oleh masyarakat sipil dinilai berpotensi melindungi koruptor di sektor tambang, dikeluarkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dari daftar prolegnas 2020, hingga pembahasan RUU Cipta Kerja.
https://nasional.kompas.com/read/2020/07/15/19060911/ruu-kontroversial-berlanjut-jutaan-netizen-kembali-serukan-gerakan