Salin Artikel

RUU Pemilu dan Problem Keterwakilan Politik Individual

AKHIR-AKHIR ini publik gelisah, pemilu menghasilkan wakil rakyat yang semakin jauh dari harapan rakyat. Banyak produk legislasi yang dihasilkan jauh dari harapan publik, lemahnya fungsi pengawasan terhadap eksekutif, hingga banyaknya kasus korupsi yang menimpa wakil rakyat.

Demokrasi modern yang dipraktikkan di Indonesia, sistem perwakilan politik menjadi hal yang penting untuk dibahas dalam penyusunan RUU Pemilu. Undang-undang Pemilu adalah ruh demokrasi perwakilan Indonesia ke depan.

Beberapa konsepsi ideal sistem perwakilan politik dapat diperbincangkan sebagai takaran untuk menilai RUU Pemilu. Apakah RUU Pemilu yang di inisiasi Komisi II DPR ini akan menghadirkan pemilu yang menghasilkan perwakilan yang mampu mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan?

Problem keterwakilan politik individual

UUD pasal 22E memberi ruang yang sangat besar bagi partai politik dalam sistem perwakilan maupun pengisian jabatan publik. Karena itu, representasi politik kolektif melalui partai politik untuk kepentingan nasional harus lebih dikedepankan daripada representasi politik individual oleh calon untuk kepentingan konstituen.

Jika merujuk pada konsepsi ini, sistem proporsional terbuka perlu ditinjau ulang. Pada sistem ini, calon yang populer (karena popularitasnya atau karena dukungan finansialnya) terpilih, merasa lebih mewakili dirinya sendiri dan konstituennya daripada mewakili partai politik.

Problemnya calon terpilih bisa jadi tidak memahami ideologi dan program partai karena proses yang instan dan mengandalkan popularitas.

Ruang politik kita diisi orang-orang yang populer secara personal, tapi kering gagasan politik ideologis. Lebih banyak yang dibangun adalah daya tarik personal, secara jangka panjang akan menghilangkan identifikasi partai (party ID), yang berujung hilangnya representasi politik kolektif.

Ketidaksetaraan dan disprorporsionalitas keterwakilan

Sistem keterwakilan yang ideal berdasarkan prinsip equal representation atau kesetaraan keterwakilan seluruh penduduk. Perlu juga dipertimbangkan keseimbangan keterwakilan berbagai unsur atau kelompok masyarakat dan rendahnya suara yang tidak dikonversi menjadi kursi.

RUU Pemilu Pasal 207-208 menetapkan jumlah kursi anggota DPR adalah 575 kursi, dapil pemilu DPR adalah provinsi, kabupaten/kota, atau gabungan, dengan alokasi kursi per dapil 3-8 kursi.

Penentuan dapil DPR dilakukan dengan mengubah ketentuan dapil pada pemilu terakhir berdasar perubahan jumlah alokasi kursi, penataan dapil, dan perkembangan data daerah pemilihan.

Pada akhirnya dapil dan jumlah kursi tiap dapil pun ditetapkan DPR dalam lampiran UU Pemilu. Apakah jumlah kursi anggota DPR dan alokasi kursi per dapil provinsi telah sesuai dengan prinsip equal representation?

Alokasi kursi DPR ke setiap dapil provinsi berlaku prinsip OPOVOV (One Person One Vote One Value), maknanya nilai suara maupun jika dikonversi menjadi kursi seharusnya setara. Harga satu suara dan satu kursi di provinsi A haruslah senilai dengan di provinsi B, baik di Pulau Jawa maupun di luar Pulau Jawa.

Faktanya, setelah menambah 15 kursi pada pemilu 2019 (yang diadopsi pada RUU Pemilu ini) ternyata tidak memperbaiki kesetaraan keterwakilan. Masih ada provinsi yang over representation di antaranya: Aceh +2 kursi, Sulawesi Selatan +3 kursi dan Sumatera Barat +2 kursi, termasuk Kalimantan Utara yang seharusnya hanya 1 kursi namun karena ketentuan UU jadi 3 kursi.

Ada pula provinsi yang under representation antara lain: DKI Jakarta -2 kursi, Jawa Barat -6 kursi, dan Sumatera Utara -2 kursi. Implikasinya, harga kursi di tiap dapil jadi tidak setara. Hal ini tentu wujud inkonsistensi prinsip OPOVOV.

Penerapan ambang batas perolehan suara di DPR sebesar 7 persen akan berdampak serius meningkatnya indeks disproporsionalitas dan besarnya suara yang terbuang. Wujud nyata inkonsistensi sistem proporsional.

Menuju perwakilan politik kolektif dan setara

Sistem proporsional daftar tertutup seperti pasal 206 RUU Pemilu bukanlah ide yang buruk. Dengan syarat, demokratisasi dan transparansi penentuan nomor urut di partai politik diatur secara tegas di UU pemilu.

Sistem proporsional tertutup pada pemilu 1999 dan 2004 terbukti menghasilkan anggota legislatif yang berkualitas baik ketokohan maupun kapabilitasnya.

Partai politik akan berhitung dan menaruh kader terbaiknya untuk mendapatkan dukungan rakyat. Meskipun, hal ini akan diuji dengan putusan MK No 22-24/PUU-VI/2008 yang memberikan syarat penentuan sistem pemilu.

Para pakar kepemiluan menganalogikan sistem organ tubuh manusia dengan jantung sebagai sentralnya yakni parlemen dan rakyat sebagai keseluruhan anggota tubuh. Ada korelasi yang konstan antara ukuran jantung (parlemen) dengan besarnya tubuh, yakni ukuran jantung adalah akar pangkat tiga dari besarnya tubuh manusia.

Pakar matematika pemilu Taagepara dan Shugart merumuskan pada negara berkembang jumlah anggota parlemen adalah akar pangkat tiga dari jumlah penduduk aktif, yakni mereka yang secara riil terlibat aktif dalam partisipasi politik dan mencari perwakilan politik (Kemitraan, 2011).

Penggunaan metode fix seat lebih menjamin kepastian jumlah kursi parlemen. Proyeksi jumlah penduduk pada tahun 2020 menurut BPS adalah 271.066.400 penduduk, dengan asumsi 90 persen penduduk melek huruf dan 50 persen persentase usia kerja, secara fix seat jumlah kursi DPR di Indonesia idealnya 496-500 kursi.

Sejarah pernah mencatat DPR periode 1999-2004 dengan 500 anggota DPR sudah cukup menampung keragaman politik dan efektif kinerjanya. Menghasilkan 175 UU disahkan dari 120 RUU yang diusulkan dengan kualitas undang-undang yang dihasilkan pun lebih baik, sedikit produk UU yang diuji di Mahkamah Konsitusi.

Bandingkan dengan DPR yang kursinya lebih banyak pada hasil Pemilu 2014 atau 2019, tidak lebih produktif bukan?

Tahun 2020 bersamaan dengan agenda sensus penduduk 10 tahunan adalah momentum yang tepat untuk menata dapil sesuai jumlah penduduk faktual.

Perubahan penataan dapil perlu ditegaskan di UU pemilu agar tidak selalu berganti tiap pemilu untuk menciptakan stabilitas politik dan hubungan yang konstan antara konstituen dan wakil rakyat.

Langkah pertama, berikan kewenangan penetapan dapil dan alokasi kursi pada KPU untuk menghindari tarik menarik kepentingan pragmatis partai.

Kedua, tetapkan jumlah kursi anggota DPR secara fix seat sebanyak 500 kursi. Ketiga, kursi dibagi sesuai dapil provinsi atau kabupaten/kota secara proporsional dengan prinsip OPOVOV secara konsisten.

Berikutnya, Luar Negeri menjadi dapil sendiri dengan alokasi kursi tersendiri, karena secara karakteristik dan kepentingan konstituen berbeda dengan penduduk Provinsi DKI Jakarta.

Suara pemilih luar negeri seharusnya tidak dapat dimasukkan ke dapil provinsi di dalam negeri karena UU menyebutkan Dapil adalah Provinsi/ Kabupaten Kota/ gabungan Kabupaten Kota.

Jumlah parpol yang lolos di parlemen idealnya memenuhi kategori multipartai moderat yakni antara lima sampai enam partai politik.

Menurut ahli pemilu, Didik Supriyanto, secara historis dan sosiologis, pluralitas politik di Indonesia dicerminkan oleh tiga ideologi yang dianut masyarakat dan partai-partai, yaitu: nasionalisme, Islamisme, dan kekaryaan yang masing-masing memiliki dua varian.

Idealnya DPR cukup diwakili enam partai politik yang cukup mewakili pluralitas politik di Indonesia dan mengefektifkan sistem pengambilan keputusan di parlemen.

Memperkecil district magnitude 3-6 kursi per dapil adalah yang ideal. Secara bertahap jumlah alokasi kursi per dapil 3-8 kursi seperti pasal 208 RUU Pemilu bisa diterapkan pada pemilu ke depan.

Pengurangan jumlah kursi di dapil 3-8 kursi sebenarnya memberlakukan ambang batas tersembunyi 8,3 persen, artinya di tiap dapil yang yang mendapatkan kursi maksimal 8 partai.

Hal ini akan secara signifikan mengurangi jumlah partai politik secara alamiah dan kompetisi yang fair dan terbuka bagi semua partai politik. Tidak dicurigai sebagai agenda partai besar mengamputasi partai politik kecil dan menengah dengan cara yang ekstrem. (Dody Wijaya |  Peminat Kajian Kepemiluan | Anggota KPU Kota Jakarta Selatan)

https://nasional.kompas.com/read/2020/07/07/14552321/ruu-pemilu-dan-problem-keterwakilan-politik-individual

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke