Firli mengatakan, ia dan pimpinan KPK lainnya mencoba terbuka kepada publik terkait penghentian penyelidikan 36 kasus tersebut.
Menurut dia, keterbukaan penghentian penyelidikan 36 kasus itu jauh lebih baik daripada KPK menyembunyikan hal tersebut dari publik.
"Jadi kita apa pun yang disampaikan, kita terima, kan lebih baik kita terbuka walaupun akhirnya kita dicurigai, walaupun akhirnya kita ditanyain. Tapi yang pasti, kami 5 pimpinan KPK dan seluruh orang KPK lebih baik terbuka daripada sembunyi-sembunyi," kata Firli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (24/2/2020).
Adapun KPK tidak merincikan 36 kasus yang dihentikan penyelidikannya, menurut Firli, hal tersebut memang bersifat tertutup.
Firli mengatakan, membuka sesuatu yang biasa bersifat tertutup akan cukup berisiko.
"Maksud saya begini, memang mengawal sesuatu yang baru, dalam sistem keterbukaan, kalau Anda biasa tertutup, pasti Anda akan kaget dengan tertutup, ada yang disebut kurva J, seketika kita buka terbuka (kasus), maka pasti ada risiko," ucapnya.
Lebih lanjut, Firli mengatakan, 36 kasus yang sudah dihentikan penyelidikannya tersebut bisa dibuka kembali apabila terdapat bukti yang memenuhi untuk dilanjutkan ke tingkat penyidikan.
"Kalau ada bukti baru, bisa dong," pungkasnya.
Sebelumnya diberitakan, KPK ramai dikritik karena menghentikan penyelidikan 36 kasus dugaan korupsi, baik dari Indonesia Corruption Watch (ICW) maupun DPR.
Koordinator ICW Adnan Topan Husodo menilai, langkah KPK mengumumkan penghentian 36 perkara di tahap penyelidikan menjadi blunder.
"Maksudnya kan supaya (KPK) terbuka ya niatnya, tetapi menjadi blunder karena memang penuh ketidakpastian, begitu," kata Adnan dalam diskusi bertajuk "Dear KPK, Kok Main Hapus Kasus" di Upnormal Coffee Roasters, Jakarta, Minggu (23/2/2020).
Sebab, menurut dia, penyelidikan merupakan proses yang rahasia dan penuh ketidakpastian.
Penyelidikan harus dipastikan apakah dilanjutkan ke tahap penyidikan atau dihentikan.
Penghentian penyelidikan, menurut Adnan, merupakan proses yang normal dilakukan lembaga penegak hukum jika tidak ditemukan bukti permulaan yang cukup.
"Karena itu, ini menjadi sebuah kebijakan atau keputusan yang wajar, menjadi masalah ketika keputusan itu diumumkan, disampaikan ke masyarakat. Karena dari sesuatu yang tidak pasti disampaikan ke masyarakat, akhirnya banyak tuntutan lebih," ujar Adnan.
"Kan disebutkan ada terkait kepala daerah, aparat penegak hukum dan sebagainya. Nah, terus publik puas enggak? Enggak, dikejar lagi, misalnya siapa kepala daerahnya, siapa anggota DPR-nya. Padahal, itu kan basisnya ketidakpastian," kata dia.
Ia juga mengingatkan, ini akan kembali menjadi masalah jika di kemudian hari KPK tak lagi mengumumkan penghentian penyelidikan.
Sebab, masyarakat akan bertanya-tanya nantinya mengapa KPK tak lagi mengumumkan ke publik jika ada penyelidikan yang kembali dihentikan.
Dengan demikian, kata dia, KPK lebih baik memperkuat akuntabilitas internalnya menyangkut penghentian penyelidikan dugaan korupsi.
https://nasional.kompas.com/read/2020/02/24/18122351/kpk-dikritik-hentikan-penyelidikan-36-kasus-firli-lebih-baik-terbuka