Salin Artikel

Manufaktur Prasangka di Era Demokrasi

AWAN gelap tengah menyelimuti suasana bernegara di republik ini. Gelombang aksi mahasiswa berlangsung tanpa henti. Lautan pernyataan saling benci dan ancam menggema oleh elite di dinding publik.

Prasangka menjadi manufaktur. Dikapitalisasi, didistribusi sembari dipercanggih dengan logika hoaks di era post-truth. Kebenaran adalah apa yang ingin didengar. Bukan apa yang senyatanya terjadi.

Pemicunya berawal dari dugaan operasi senyap di parlemen. Menjelang detik-detik berakhir masa jabatan anggota parlemen periode (2014-2019), sejumlah RUU didorong untuk disetujui dan disahkan Presiden.

Di antaranya, RUU Revisi UU KPK, RUU KUHPid dan RUU Pertanahan. RUU Revisi UU KPK lolos disetujui. Tinggal disahkan dan diberi penomoran.

Sejalan dengan itu, kebakaran hutan juga melanda. Diduga ada praktik kesengajaan oknum yang tentu hukum harus membuktikan.

Demikian pula, secara “kebetulan”, pimpinan KPK telah terpilih dengan polemik dugaan defisit integritas. Belum lagi tragedi Wamena. Semua berakumulasi. Seolah menjadi teror pada publik yang gelisah.

Mudah diduga. Praktik-praktik di atas menimbulkan reaksi di publik. Mahasiswa bergerak. Atas nama panggilan nurani.

Bahkan, diperkencang sesuatu yang mengejutkan. Anak-anak Sekolah Teknik Menengah (STM) ikut aksi. Terjadi konflik besar selain di ibukota juga di sejumlah kota.

Semua serba mengkhawatirkan. Sementara tanggal menuju pelantikan presiden dan/wakil presiden 20 Oktober pun semakin dekat.

Locus Demokrasi

Ada banyak sinyal yang menunjukkan, suasana demokrasi yang kita nikmati pasca reformasi, mengandung ancaman mengintai.

Jack Snyder pernah menulis buku From Voting to Violence: Democratization and Nationalist Conflict (2000) yang memaparkan secara meyakinkan bahwa dalam banyak kasus, transisi menuju demokrasi seringkali menimbulkan kerusuhan, SARA, perang dan disintegrasi antar bangsa.

Tesisnya mengatakan, demokratisasi tidak hanya bisa gagal, bahkan sering gagal di tangan demokrat yang tak becus. Sekaligus juga sering digagalkan oleh para provokator berkedok nasionalis.

Menurut Parakitri T Simbolon (Kompas, 2001), setelah menggagalkan demokrasi, mereka membalikkan kekuasaan yang anti demokrasi.

Filsuf Giorgio Agamben lebih canggih lagi berpandangan. Ia khawatir, demokrasi dalam perjalanannya lebih dipahami sebagai sistem penyelenggaraan kekuasaan dibandingkan sebagai sistem yang menakar legitimasi penyelenggaraan kekuasaan.

Dia mencurigai, ada praktik yang serba mendaruratkan suatu kondisi di rezim demokrasi. Darurat didalilkan normal di rezim demokrasi dimaksud, nyaris tanpa batas waktu yang jelas, akibatnya kekerasan dapat terjadi setiap saat.

Dalam kondisi seperti itu, setiap orang potensial berstatus homo sacer: orang-orang yang menjadi objek kekerasan tanpa tameng perlindungan hukum dan tanpa konsekuensi apa pun bagi pelaku kekerasan (Agus Sudibyo, Demokrasi dan Kedaruratan, 2019).

Dua argumentasi di atas, bagi penulis, harus ditimbang untuk memperbaiki locus demokrasi Indonesia.

Pertama, tafsir bahwa rakyat sudah menyerahkan hak daulatnya pada parlemen pasca-pemilu seringkali dijadikan adagium untuk tidak melibatkan publik dalam isu-isu publik.

Ini akan berbahaya, karena rakyat selalu berdaulat.

Pembuatan undang-undang, seperti pada kasus revisi UU KPK, wajib melibatkan publik dalam ruang dialog yang cukup. Bukan monolog. Bukan partisipasi basa-basi dikunci waktu yang sangat “sadis” menghentikan diskursus di publik.

Tentu kita bisa berbeda argumen soal penguatan atau pelemahan KPK. Tapi semua diuji di publik dalam suasana setara, penuh kebebasan, rasionalitas disertai waktu yang cukup.

Kedua, konteks kedaruratan harus dibatasi waktu. Pengambilan kebijakan harus terukur. Pendekatan represif harus dihindari. Sebab akan berakibat sangat jauh bagi pelembagaan demokrasi yang berkualitas.

Mendesakan Perppu

Aksi sudah telanjur membesar. Risiko apabila terlambat mengambil keputusan memperburuk suasana. Maka, dalam eskalasi demikian, gagasan menerbitkan Perppu yang membatalkan UU revisi UU KPK menjadi niscaya.

Pasal 22 UUD 1945 memberikan peluang untuk itu di mana Presiden dalam kegentingan memaksa dapat menerbitkan Perppu.

Tentu terdapat syarat subyektif dan obyektif (seperti genting dari segi waktu, substansi atau kekosongan hukum misalnya, merujuk Putusan MK) namun persyaratan demikian dapat ditafsir sendiri oleh Presiden dengan mengingat suasana yang semakin tidak kondusif.

Di dalam kondisi yang buram, maka para pihak, entah menteri, panglima, anggota dewan dan tokoh publik harus mengeluarkan pernyataan menyejukkan. Tidak memproduksi prasangka. Bahkan, memberikan wahana bagi toleransi dan upaya menuju perdamaian yang hakiki.

Sebab, kini tengah berhadapan dua prasangka diametral yang sama-sama tidak baik antara pemerintah dan masyarakat.

Untuk itu, politik prasangka harus diredam dengan membangun kepercayaan kedua belah pihak. Dugaan penunggangan. Ancaman makar. Atau apa pun harus dieliminasi. Biar hukum yang bekerja membuktikan itu. Sementara para pihak lebih mewahanakan saling pemahaman sembari mencari solusi yang terbaik.

Indonesia membutuhkan politisi yang negarawan. Masyarakat yang rasional. Kampus kritis namun etis. Indonesia dipastikan harus dirajut dalam kemajemukan anti kekerasan.

Untuk itu, semua pihak harus menyadari, rumah kita hanya Indonesia. Maka, semua pihak harus bekerja keras untuk merawat republik ini dengan kepala dingin.

Memastikan apa yang sudah diraih---seperti demokrasi dan NKRI----tidak punah.

Dengan itu kita bisa memiliki eksistensi yang diharapkan “lebih abadi”. Seperti pekik Chairil Anwar, “kuingin hidup untuk 1000 tahun lagi”.

https://nasional.kompas.com/read/2019/10/02/14273201/manufaktur-prasangka-di-era-demokrasi

Terkini Lainnya

Kemendikbud Sebut Kuliah Bersifat Tersier, Pimpinan Komisi X: Tidak Semestinya Disampaikan

Kemendikbud Sebut Kuliah Bersifat Tersier, Pimpinan Komisi X: Tidak Semestinya Disampaikan

Nasional
Wapres Minta Alumni Tebuireng Bangun Konsep Besar Pembangunan Umat

Wapres Minta Alumni Tebuireng Bangun Konsep Besar Pembangunan Umat

Nasional
Khofifah-Emil Dardak Mohon Doa Menang Pilkada Jatim 2024 Usai Didukung Demokrat-Golkar

Khofifah-Emil Dardak Mohon Doa Menang Pilkada Jatim 2024 Usai Didukung Demokrat-Golkar

Nasional
Pertamina Raih Penghargaan di InaBuyer 2024, Kado untuk Kebangkitan UMKM

Pertamina Raih Penghargaan di InaBuyer 2024, Kado untuk Kebangkitan UMKM

Nasional
Soal Isu Raffi Ahmad Maju Pilkada 2024, Airlangga: Bisa OTW ke Jateng dan Jakarta, Kan Dia MC

Soal Isu Raffi Ahmad Maju Pilkada 2024, Airlangga: Bisa OTW ke Jateng dan Jakarta, Kan Dia MC

Nasional
Cegah MERS-CoV Masuk Indonesia, Kemenkes Akan Pantau Kepulangan Jemaah Haji

Cegah MERS-CoV Masuk Indonesia, Kemenkes Akan Pantau Kepulangan Jemaah Haji

Nasional
Dari 372 Badan Publik, KIP Sebut Hanya 122 yang Informatif

Dari 372 Badan Publik, KIP Sebut Hanya 122 yang Informatif

Nasional
Jemaah Haji Indonesia Kembali Wafat di Madinah, Jumlah Meninggal Dunia Menjadi 4 Orang

Jemaah Haji Indonesia Kembali Wafat di Madinah, Jumlah Meninggal Dunia Menjadi 4 Orang

Nasional
Hari Keenam Penerbangan, 34.181 Jemaah Haji tiba di Madinah

Hari Keenam Penerbangan, 34.181 Jemaah Haji tiba di Madinah

Nasional
Jokowi Bahas Masalah Kenaikan UKT Bersama Menteri Pekan Depan

Jokowi Bahas Masalah Kenaikan UKT Bersama Menteri Pekan Depan

Nasional
KIP: Indeks Keterbukaan Informasi Publik Kita Sedang-sedang Saja

KIP: Indeks Keterbukaan Informasi Publik Kita Sedang-sedang Saja

Nasional
Digelar di Bali Selama 8 Hari, Ini Rangkaian Kegiatan World Water Forum 2024

Digelar di Bali Selama 8 Hari, Ini Rangkaian Kegiatan World Water Forum 2024

Nasional
Golkar Resmi Usung Khofifah-Emil Dardak di Pilkada Jatim 2024

Golkar Resmi Usung Khofifah-Emil Dardak di Pilkada Jatim 2024

Nasional
Fahira Idris: Jika Ingin Indonesia Jadi Negara Maju, Kuatkan Industri Buku

Fahira Idris: Jika Ingin Indonesia Jadi Negara Maju, Kuatkan Industri Buku

Nasional
Waspada MERS-CoV, Jemaah Haji Indonesia Diminta Melapor Jika Alami Demam Tinggi

Waspada MERS-CoV, Jemaah Haji Indonesia Diminta Melapor Jika Alami Demam Tinggi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke