Salin Artikel

Inikah Akhir KPK? (2): Semangat Reformasi di Era Habibie, Akankah Mati di Era Jokowi?

Ini adalah lanjutan dari tulisan sebelumnya. Silakan baca tulisan sebelumnya Inikah Akhir KPK? (1): Cerita Pemberantasan Korupsi di Era Soekarno hingga Soeharto

-----------------


KOMPAS.com - Semangat pemberantasan korupsi sudah muncul di masa-masa awal kelahiran negara ini. Sejumlah aturan hukum diterbitkan; sejumlah lembaga pun didirikan. Tapi, perkara korupsi tak kunjung selesai.

Di era Orde Baru, Soeharto juga membentuk lembaga pemberantasan korupsi namun ia sendiri terjungkal karena korupsi.

Setelah era Soeharto, semangat pemberantasan korupsi memasuki babak baru di era BJ Habibie. Orde Reformasi membawa banyak perubahan.

Kendati hanya jadi presiden selama 1 tahun 5 bulan, Habibie adalah sosok yang berperan penting dalam upaya pemberantasan korupsi.

Di era Habibie, di tengah desakan arus reformasi, terbitlah Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang itu yang kelak menjadi jalan pembuka bagi lahirnya KPK.

Pasal 43 UU tersebut mengamanatkan dibentuknya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maksimal dua tahun sejak UU berlaku.

Habibie juga membentuk Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN). Ancaman mengumumkan pejabat yang enggan melaporkan kekayaannya cukup efektif membuat ribuan pejabat melapor.

Kelak ketika KPK lahir, fungsi pengawasan KPKPN dilebur ke KPK. Dalam kolomnya di Harian Kompas pada 14 Desember 2002, ahli hukum tata negara Saldi Isra menduga KPKPN akhirnya dibubarkan karena meminta pelaporan kekayaan anggota DPR.

Selain itu, KPKPN juga menyenggol para pejabat tinggi negara. Salah satunya MA Rahman, Jaksa Agung kala itu yang tidak melaporkan rumahnya di Cinere beserta deposito Rp 800 juta.

Di era Presiden Abdurrahman Wahid, kembali dibentuk lembaga antirasuah Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK).

Sayangnya, lembaga yang berada di bawah Kejaksaan Agung itu melempem ketika berhadapan dengan kasus-kasus besar seperti Texmaco dan BLBI. TGPTPK bubar pada 2001.

Setelah Abdurrahman Wahid lengser dan digantikan Megawati Soekarnoputri, terbit Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang itu melandasi lahirnya KPK pada 2003.

Telikung tiada henti

Revisi UU KPK yang kini dikritik keras lantaran dianggap sebagai upaya pelemahan KPK, bukan yang pertama.

Sejak pertama berdiri hingga kini, KPK terus ditelikung dari berbagai sisi.

Di periode pertama di bawah pimpinan Taufiequrachman Ruki (2003-2007), KPK sempat melawan judicial review pasal penyadapan dari anggota KPU Mulyana W Kusumah.

Mulyana adalah tangkapan (OTT) KPK angkatan awal. Ia divonis 15 bulan penjara karena menyiap anggota BPK senilai Rp 150 juta dalam audit pengadaan kotak suara Pemilu 2004.

Kemudian di era Antasari Azhar (2007-2009), selain kasus pembunuhan yang memenjarakan Antasari Azhar sendiri, ada kriminalisasi dua pimpinan KPK Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah.

Di era ini, Kepala Bareskrim Polri Jenderal Susno Duadji menyerang KPK karena disadap. Pertarungan KPK dengan Polri ini kemudian dikenal sebagai "Cicak vs. Buaya".

Di legislatif, Ketua DPR kala itu, Marzuki Alie, berkali-kali mengusulkan KPK dibubarkan dan merevisi UU KPK.

Sementara di pihak eksekutif, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah mengingatkan KPK saat menyebutnya sebagai lembaga superbody yang berbahaya.

Menurut SBY, kekuasaan KPK terlalu besar tanpa kontrol memadai. Besan SBY, Aulia Pohan ditangkap di era yang sama.

Kemudian di era Abraham Samad (2011-2015), KPK kembali mendapat serangan dari eksekutif dan legislatif. Muncul wacana revisi UU KPK dengan substansi menyunat kewenangan lembaga itu.

Di DPR, Komisi Hukum menahan proyek gedung KPK. Padahal gedung yang mereka tempati sudah tak memadai lagi.

Dari Polri, penyidik senior KPK Novel Baswedan ditersangkakan oleh Polda Bengkulu. Di era yang sama, Mabes Polri menarik penyidiknya sehingga jumlah penyidik tinggal 62.

Padahal, ada puluhan kasus yang sedang ditangani. Di antaranya rekening gendut perwira Polri, bailout Century, dan kasus STNK/plat nomor.

Di era Agus Raharjo yang dimulai sejak 2015, penyidik Novel Baswedan disiram air keras hingga membutakan sebelah matanya.

Upaya mengebiri KPK juga tak kunjung padam kendati dukungan masyarakat untuk KPK mengalir deras.

Pada 2016 dan 2017, DPR menyepakati RUU KPK masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas). DPR juga membentuk pansus hak angket KPK.

Akhir KPK?

Melihat sejarah yang panjang, semangat pemberantasan korupsi sudah berkali-kali mati dibunuh di negeri ini. Bahkan, di era Soekarno ia dibunuh begitu dini, tiga bulan sejak berdiri.

Kini, revisi UU KPK kembali digulirkan. Di legislatif, baik oposisi maupun partai pemerintah yang sama-sama mendukung RUU KPK.

Upaya KPK seolah mendapat restu dari Presiden Joko Widodo. Surat persetujuan dari Jokowi untuk membahas RUU KPK dinilai dibuat terburu-buru.

Selain itu, KPK tak dilibatkan dalam penyusunan draf RUU KPK. Pembahasan juga digelar tertutup.

Belum lagi seleksi calon pimpinan KPK yang disinyalir meloloskan nama-nama bermasalah.

Terpilihnya pimpinan baru membuat para pimpinan KPK mundur.

Saut Situmorang sudah melepas jabatannya. Disusul Agus Rahardjo dan Laode M Syarif yang menyatakan menyerahkan mandat pengelolaan KPK ke Presiden Jokowi.

Akankah KPK selamat dari "serangan" kali ini? Ataukah harapan akan perlawanan terhadap korupsi akhirnya habis, mati?

https://nasional.kompas.com/read/2019/09/15/08000071/inikah-akhir-kpk-2-semangat-reformasi-di-era-habibie-akankah-mati-di-era

Terkini Lainnya

Dewas KPK Gelar Sidang Perdana Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron Hari Ini

Dewas KPK Gelar Sidang Perdana Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron Hari Ini

Nasional
Jokowi Resmikan 40 Kilometer Jalan Inpres Senilai Rp 211 Miliar di NTB

Jokowi Resmikan 40 Kilometer Jalan Inpres Senilai Rp 211 Miliar di NTB

Nasional
Jokowi Akan Resmikan Bendungan dan Panen Jagung di NTB Hari ini

Jokowi Akan Resmikan Bendungan dan Panen Jagung di NTB Hari ini

Nasional
Meski Isyaratkan Merapat ke KIM, Cak Imin Tetap Ingin Mendebat Prabowo soal 'Food Estate'

Meski Isyaratkan Merapat ke KIM, Cak Imin Tetap Ingin Mendebat Prabowo soal "Food Estate"

Nasional
Setelah Jokowi Tak Lagi Dianggap sebagai Kader PDI-P...

Setelah Jokowi Tak Lagi Dianggap sebagai Kader PDI-P...

Nasional
Pengertian Lembaga Sosial Desa dan Jenisnya

Pengertian Lembaga Sosial Desa dan Jenisnya

Nasional
Prediksi soal Kabinet Prabowo-Gibran: Menteri Triumvirat Tak Diberi ke Parpol

Prediksi soal Kabinet Prabowo-Gibran: Menteri Triumvirat Tak Diberi ke Parpol

Nasional
Jokowi Dianggap Jadi Tembok Tebal yang Halangi PDI-P ke Prabowo, Gerindra Bantah

Jokowi Dianggap Jadi Tembok Tebal yang Halangi PDI-P ke Prabowo, Gerindra Bantah

Nasional
Soal Kemungkinan Ajak Megawati Susun Kabinet, TKN: Pak Prabowo dan Mas Gibran Tahu yang Terbaik

Soal Kemungkinan Ajak Megawati Susun Kabinet, TKN: Pak Prabowo dan Mas Gibran Tahu yang Terbaik

Nasional
PKS Siap Gabung, Gerindra Tegaskan Prabowo Selalu Buka Pintu

PKS Siap Gabung, Gerindra Tegaskan Prabowo Selalu Buka Pintu

Nasional
PKB Jaring Bakal Calon Kepala Daerah untuk Pilkada 2024, Salah Satunya Edy Rahmayadi

PKB Jaring Bakal Calon Kepala Daerah untuk Pilkada 2024, Salah Satunya Edy Rahmayadi

Nasional
Saat Cak Imin Berkelakar soal Hanif Dhakiri Jadi Menteri di Kabinet Prabowo...

Saat Cak Imin Berkelakar soal Hanif Dhakiri Jadi Menteri di Kabinet Prabowo...

Nasional
Prabowo Ngaku Disiapkan Jadi Penerus, TKN Bantah Jokowi Cawe-cawe

Prabowo Ngaku Disiapkan Jadi Penerus, TKN Bantah Jokowi Cawe-cawe

Nasional
Orang Dekat Prabowo-Jokowi Diprediksi Isi Kabinet: Sjafrie Sjamsoeddin, Dasco, dan Maruarar Sirait

Orang Dekat Prabowo-Jokowi Diprediksi Isi Kabinet: Sjafrie Sjamsoeddin, Dasco, dan Maruarar Sirait

Nasional
Prabowo Diisukan Akan Nikahi Mertua Kaesang, Jubir Bilang 'Hoaks'

Prabowo Diisukan Akan Nikahi Mertua Kaesang, Jubir Bilang "Hoaks"

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke