"Misalnya adalah, pemda setempat atau pemprov itu mengeluarkan laporan berkala secara netral dan faktual mengenai apa yang sesungguhnya terjadi," kata Anita kepada Kompas.com, Minggu (25/8/2019).
Selain itu, pemerintah juga bisa memanfaatkan media massa yang kredibel untuk ikut menyebarkan informasi yang benar, atau mengklarifikasi kabar hoaks jika hal itu ditemukan.
Langkah-langkah ini dinilai lebih efektif ketimbang menutup total akses internet. Sebab, sekalipun internet diblokir, hoaks tetap beredar melalui layanan SMS.
Di saat yang bersamaan, masyarakat Papua membutuhkan klarifikasi atas hoaks yang beredar.
Jika hal itu dibiarkan, justru dugaan-dugaan yang mengarah pada hoaks akan kian berkembang.
"Semakin banyak asumsi-asumsi dan dugaan-dugaan yang tidak terkonfirmasi malah bisa membuat masyarakat jadi gelisah dan tidak tahu apa yang sedang terjadi di sana," ujar Anita.
Anita menambahkan, ketiadaan internet di Papua saat ini tidak hanya membatasi ruang gerak warga di sana, tetapi juga masyarakat Indonesia yang punya keluarga dan kerabat di Papua.
"Bukan cuma di sana yang punya kebutuhan informasi, kami di sini juga banyak teman saudara yang tinggal di sana. Kami juga membutuhkan informasi yang ada di sana," kata dia.
Diketahui, Kementerian Komunikasi dan Informatika menutup akses internet secara penuh di wilayah Papua dan Papua Barat mulai Rabu (21/8/2019).
Langkah ini diambil dengan alasan untuk mempercepat proses pemulihan situasi keamanan di sana.
"Kementerian Komunikasi dan Informatika RI memutuskan untuk melakukan pemblokiran sementara layanan data telekomunikasi, mulai Rabu (21/8) hingga suasana tanah Papua kembali kondusif dan normal," kata Plt Kepala Biro Humas Kementerian Kominfo, Ferdinandus Setu, melalui keterangan tertulisnya, Rabu.
https://nasional.kompas.com/read/2019/08/26/07494561/daripada-blokir-internet-ini-yang-lebih-efektif-tekan-hoaks-papua