Sebagian pihak berpendapat badan antirasuah itu semestinya dipimpin oleh sosok independen. Namun, ada juga yang menyebut bahwa KPK masih membutuhkan sosok pemimpin yang berasal dari kepolisian.
Masing-masing pendapat itu disertai dengan alasan-alasan tertentu dari masing-masing pihak yang bersuara.
Masih dibutuhkan
Salah satu pihak yang menyampaikan perlunya capim KPK berasal dari tubuh Polri adalah Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian.
Menurut dia, tidak ada larangan bagi anggota kepolisian untuk menjadi salah satu petinggi atau komisioner KPK.
Selain itu, Polri juga bisa menjadi mitra potensial untuk menangani kasus korupsi di Indonesia yang begitu luas.
"Kami berharap, saya sebagai pimpinan Polri, ada unsur Polri di dalam komisioner KPK. Kenapa? Untuk kerja sama," kata Tito pada Selasa (25/6/2019).
"Karena KPK menurut saya akan sulit untuk menangani semua persoalan kasus korupsi atau pencegahan korupsi yang ada di seluruh Indonesia yang sangat luas ini," ujar dia.
Ia juga memandang personel kepolisian terbukti memiliki kompetensi untuk menyelidiki kasus korupsi. Ini terbukti sejak awal pembentukannya sudah banyak anggota Polri yang masuk ke KPK dan menduduki posisi pimpinan.
"Kemudian jangan lupa juga sejarah bahwa di awal pembesarkan KPK berdirinya itu juga melibatkan Polri baik di tingkat pimpinan, kita lihat ada senior saya, ada Pak Taufik Ruki bahkan sebagai ketua waktu itu. Ada juga Pak Bibit Waluyo, ada Ibu Basaria Panjaitan," ucapnya.
Logika penegakan hukum
Di pihak lain, Ketua Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK Yenti Garnasih juga menilai kandidat dari pihak penegak hukum tetap diperlukan.
"Memang tidak ada yang mengatakan wajib dari penegak hukum ya, tapi kan unsur pemerintah. Dan logikanya ini penegakan hukum, kalau dia bagus, ya lebih bagus dari sana (penegak hukum) dong. Karena dia kan sudah pengalaman sekali menghadapi itu," kata Yenti, Rabu (26/6/2019).
Ia menambahkan, KPK juga harus memiliki pimpinan yang mengerti akan penyidikan dan penuntutan. Jadi, akan lebih baik jika ada perwakilan dari Polri yang masuk ke dalam jajaran pimpinan KPK baru nantinya.
“Saya sebagai orang pidana saja, memikirkan bahwa bagaimana jadinya ya, kalau yang di sana (KPK) sama sekali tidak paham tentang penyidikan, penuntutan. Jadi kalau ada yang memang bagus, ya saya pikir lebih bagus dari sana. Harus ada. Kan lima ya. Kita kan juga tidak minta lima-limanya harus (dari penegak hukum)," ujar Yenti.
Konflik kepentingan
Salah satu anggota pansel capim KPK 2019-2023 Al Araf menyebut seleksi akan dilakukan secara ketat terhadap setiap calon yang mendaftar, termasuk mereka yang datang dari kepolisian.
Ini ditujukan untuk meminimalisasi konflik kepentingan yang mungkin saja terjadi ke depannya dalam tubuh KPK.
"Walaupun itu dari polisi atau dari mana pun, harus mengikuti tahapan ya. Sehingga konflik-konflik kepentingan akan sulit kalau kemudian proses seleksi dilakukan secara tepat," ujar Araf pada 17 Juni 2019.
Lihat rekam jejak
Indonesia Corruption Watch (ICW) tidak setuju jika terdapat unsur Polri dan Kejaksaan dalam jajaran pimpinan KPK. Hal itu melihat rekam jejak para penegak hukum selama ini memiliki reputasi yang kurang baik dalam ranah pemberantasan korupsi.
"Ini harus direspons dengan serius, karena bagaimanapun rekam jejak para penegak hukum juga tidak terlalu baik di mata publik dalam konteks pemberantasan korupsi," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana.
Misalnya, menurut dia, hasil survei Lembaga Survei Indonesia tahun 2018 yang menyebut kepolisian sebagai lembaga yang paling potensial melakukan pungutan liar dalam pelayanan birokrasi.
Sementara, Kejaksaan Agung menempati urutan terbawah lembaga yang mendapat kepercayaan publik.
"Maka dari itu seharusnya Kapolri serta Jaksa Agung menjadikan hal ini sebagai prioritas, bukan justru berbondong-bondong mengirimkan wakil terbaiknya untuk menjadi pimpinan KPK," kata Kurnia.
Ada pula beberapa wakil kepolisian di KPK yang justru menunjukkan kinerja mengecewakan. Misalnya, mantan penyidik Roland dan Harun yang diduga merusak barang bukti perkara yang sedang ditangani KPK.
Selain itu, ICW mengingatkan akan kasus Aris Budiman yang merupakan mantan Direktur Penyidikan KPK, yang tiba-tiba mendatangi Panitia Angket bentukan DPR. Padahal, saat itu yang bersangkutan tidak mendapatkan izin dari pimpinan KPK.
"Atas dasar itu rasanya menjadi tepat untuk menolak keberadaan unsur penegak hukum tertentu menduduki jabatan tertinggi di KPK. Sederhananya, bagaimana publik akan percaya jika kelak ia menjadi Pimpinan KPK akan serius memberantas korupsi ketika salah satu pelaku berasal dari lembaganya terdahulu?" ujar Kurnia.
Selain alasan yang sudah dikemukakan, ada alasan lain mengapa calon pimpinan KPK dari Polri sebaiknya dihindarkan. Alasan itu menghindari munculnya konflik kepentingan yang akan timbul, sebagaimana disampaikan oleh Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW Donal Fariz.
“Belum lagi ada potensi conflict of interest-nya, ketika itu diisi Pimpinan KPK dari Polri,” kata Donal, Senin (24/6/2019).
Diharap melapor
Masyarakat yang keberatan dengan keberadaan calon pimpinan KPK yang berasal dari kepolisian, bisa melaporkannya kepada panitia seleksi.
Pesan ini disampaikan oleh anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani pada Selasa (25/6/2019).
"Siapa pun yang mendaftar atau yang kemudian disetujui instansinya untuk didaftarkan itu kan masih melalui proses di Pansel. Jadi kalau pun ada keberatan atau catatan-catatan terkait rekam jejak calon yang disampaikan elemen masyarakat sipil, disampaikan saja kepada Pansel," ujar Arsul.
Langkah ini disebut lebih efisien, dibandingkan hanya meributkannya di media saja.
Hingga saat ini, sudah tercatat ada 9 perwira tinggi Polri yang mendaftar menjadi calon pimpinan KPK. Jumlah ini masih sangat mungkin akan bertambah.
https://nasional.kompas.com/read/2019/06/26/16113091/calon-pimpinan-kpk-dari-polri-ini-adu-argumen-pihak-pro-dan-konta