Hal itu karena representasi politik perempuan di lembaga legislatif, sejak berlakunya kebijakan afirmatif pada Pemilu 2004 hingga saat ini, masih rendah meski pencalonannya tinggi.
"Meskipun tinggi (pencalonannya) namun realitanya keterpilihan caleg perempuan memiliki kesenjangan yang lebar dengan pencalonannya," kata Koalisi Perempuan Indonesia Melda Imanuela dalam diskusi bertajuk "Jaga Kemurnian Suara Pemilih, Kawal Perolehan Suara Caleg Perempuan" di kantor Bawaslu RI, Jakarta Pusat, Rabu (24/4/2019).
"Misalnya pada Pemilu 2014, pencalonan perempuan mencapai 37 persen, sedangkan keterpilihan perempuan di DPR hanya 17 persen," lanjutnya.
Ia melanjutkan, pada Pemilu 2019, ada 40,08 persen pencalonan perempuan untuk DPR RI. Banyak harapan agar keterpilihan perempuan di legislatif dapat meningkat dibandingkan pemilu-pemilu sebelumnya.
Maka dari itu, segala upaya telah dilakukan, baik oleh gerakan perempuan, partai politik, para caleg perempuan, dan masyarakat sipil untuk mendorong keterwakilan perempuan di legislatif.
Sementara itu, Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menambahkan, ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mengawal perolehan suara caleg perempuan.
Pertama, yaitu memastikan caleg perempuan memiliki informasi perolehan suaranya di daerah pemilihan masing-masing yang bisa diperoleh dari saksi parpol atau tim kampanye.
"Kedua, caleg perempuan dapat memanfaatkan jejaring dengan lembaga pemantau pemilu di daerahnya untuk memperoleh informasi proses rekap suara di dapil bersangkutan," papar Titi.
Kemudian, lanjut Titi, caleg perempuan juga harus ikut memantau proses penghitungan suara di setiap tingkatan sehingga perolehan suaranya tidak dicurangi.
"Kawal mulai dari tingkat kecamatan hingga nasional. Caleg perempuan merupakan pintu masuk menuju representasi politik yang berkeadilan," ucapnya.
https://nasional.kompas.com/read/2019/04/24/19140151/kesenjangan-persentase-pencalonan-dan-keterpilihan-caleg-perempuan-lebar