Jadi pesta demokrasi 2019 jelas dijaga dan diselenggarakan oleh negara berdasarkan seperangkat peraturan dan norma-norma.
Namun bagaimana bila demokrasi dijaga dan difasilitasi oleh swasta? Apakah mungkin? Jawabannya adalah mungkin.
Di internet, demokrasi dijaga dan difasilitasi oleh swasta, para pebisnis besar dunia, yang menurut data IGF 2018, menguasai 80 persen dari seluruh infrastruktur internet global. Pemerintah negara-negara di seluruh dunia lebih banyak hanya sebagai pengguna saja, sama seperti pemangku kepentingan lainnya.
Di atas telah disebutkan bahwa demokrasi perlu dijaga melalui seperangkat peraturan dan norma yang dibuat oleh lembaga-lembaga yang memang memperoleh mandat melalui proses yang demokratis.
Tentunya seperangkat peraturan dan norma tersebut sama sekali tidak diperuntukan untuk membatasi nilai –nilai demokrasi seperti freedom of expression misalnya, tapi sebaliknya justru harus dibuat untuk menjaga keluhuran demokrasi itu sendiri.
Lalu pertanyaan berikutnya, bagaimana dengan penjagaan nilai-nilai demokrasi di internet? Mengingat sebagian besar infrastruktur internet dimiliki oleh swasta dan sifatnya yang melewati batas-batas negara.
Terkait hal ini, pemilik infrastruktur internet global telah melakukan koordinasi antara mereka sendiri dan menyepakati membentuk tata kelola internet yang mengatur nilai-nilai atau norma-norma yang perlu dihormati oleh semua pengguna internet termasuk lebaga-lembaga negara, jadi lebih bersifat self-regulated.
Namun pertanyaan berikutnya, apakah para pengusaha multi-nasional tersebut mempunyai mandat untuk membuat regulasi? Siapa yang memberi mandat tersebut? Bagaimana proses pemberian mandat? Dan sebagainya.
Paris Call
Presiden Macron dari Perancis, pada bulan November 2018 di Paris dalam forum IGF 2018 yang lalu menyampaikan ketidaksetujuannya dengan self-regulated pihak swasta tersebut.
Bagi Macron, pihak yang mempunyai tugas untuk membuat regulasi adalah pemerintahan demokratis karena memperoleh mandat dari rakyat melalui proses yang demokratis. Namun, Perancis juga tidak menginginkan peran pemerintah yang terlalu besar seperti sistem siber di China yang dipandang juga tidak demokratis.
Perancis menyeru kepada dunia melalui seruan Paris Call untuk menyelamatkan internet dan demokrasi dengan memberi ruang lebih banyak kepada pemerintah untuk meregulasi internet.
Seruan ini mendapat tentangan dari kalangan pebisnis. Alasannya, karena pemerintah suatu negara dipandang dapat merusak demokrasi itu sendiri dengan bertindak otoriter dan berlindung pada peraturan hukum dan undang-undang misalnya dalam operasi-operasi intelijen dengan mengambil data-data elektronik tanpa izin.
Selain itu, para pemangku kepentingan internet non-pemerintah lainnya mengkhawatirkan implikasi dari Paris Call kepada elemen multi-stakeholders dari internet. Paris Call dikhawatirkan dapat menggerogoti prinsip equal-footing karena negara merasa lebih tinggi atau berada di atas pemangku kepentingan internet lainnya.
Selain itu, pemangku kepentingan lain seperti LSM dan akademisi mengkhawatirkan proses regulasi oleh lembaga negara yang biasanya memakan waktu lama sehingga tidak dapat mengejar dan selalu up-date dengan perkembangan teknologi yang pesat.
Tantangan di Indonesia
Di Indonesia, demokrasi juga tengah menghadapi tantangan cukup berat dengan banyaknya hoaks, fake-news, disinformasi, ujaran kebencian, dan lain-lain yang bertebaran di internet.
Dalam Bali Democracy Forum Desember 2018, hal-hal tersebut dicoba untuk dibahas termasuk oleh kalangan media massa yang berkesempatan hadir saat itu. Media massa saat ini menghadapi “persaingan” baru yaitu dari masyarakat bukan media massa.
Dengan perkembangan teknologi internet, semua warga masyarakat dapat menyampaikan informasi kepada khalayak luas.
Ketika media massa arusutama berkurang kemampuannya untuk melakukan liputan secara luas dan menghadirkan pemberitaan yang berkualitas, maka semakin besarlah peluang-peluang bagi masyarakat luas untuk menyampaikan berbagai informasi melalui internet.
Perbedaan tampak dari proses pengelolaan informasi yang disampaikan, bila media massa dalam proses peliputan mengikuti kaedah-kaedah jurnalistik, masyarakat umum belum tentu mengikuti kaedah-kaedah tersebut atau bahkan sengaja menyebarkan disinformasi dan hoaks.
Media massa termasuk sebagai yang paling berkepentingan dalam memerangi hoaks, fake-news dan lain-lain secara online karena hal-hal tersebut mengancam peran media massa sebagai salah satu pilar demokrasi.
Seharusnya media massa merupakan salah satu pihak yang gencar berupaya untuk mengamankan arus informasi di internet, namun sepertinya hal tersebut masih belum nyata tercermin dalam kehidupan sehari-hari, masih bersifat business as usual dan cenderung menyerahkannya kepada pemerintah.
Demokrasi sudah menjadi pilihan negeri ini, dengan demikian prinsip-prinsip demokrasi termasuk kelembagaan dari demokrasi itu sendiri perlu untuk dihormati di manapun. Namun demikian, tantangan demokrasi di internet sungguh berat.
Infrastruktur internet dalam negeri penting untuk dikuasai oleh WNI karena bila dikuasai asing maka persoalan pemberian mandat kepada lembaga-lembaga negara untuk menerbitkan regulasi di internet akan menjadi permasalahan.
Oleh karena itu, dipandang perlu untuk semakin mendorong investasi infrastruktur internet dari dalam negeri.
Media massa perlu untuk semakin menggiatkan bahkan memimpin kampanye antihoaks, fake-news, disinformasi, dan lain-lain di internet dengan terus meningkatkan kesadaran publik atas kaedah-kaedah jurnalistik serta meningkatkan kemampuan peliputan mencakup semua aspek kehidupan masyarakat.
Perkembangan teknologi internet memang dirasa sangatlah cepat yang memerlukan respons yang cepat dan tepat pula dari lembaga-lembaga pemegang mandat rakyat.
Oleh karena itu, kiranya perlu untuk mulai memikirkan alternatif-alternatif proses pembuatan hukum dan regulasi yang lebih cepat.
Termasuk mulai mempertimbangkan perluasan metode bottom-up dalam penyusunan regulasi khususnya dalam tata kelola internet dan penyebaran informasi dengan memberikan perhatian yang pas kepada sifat multi-stakeholders dari internet.
Sampai sejauh mana sistem hukum nasional RI dapat mengakomodasi pendekatan bottom-up dalam penyusunan regulasi patut untuk kiranya dikaji lebih lanjut.
Hal ini dipandang perlu untuk memberikan kesempatan kepada pemangku kepentingan non-negara untuk berkontribusi lebih besar walaupun tidak dapat benar-benar equal-footing. (B Wishnu Krisnamurthi, tulisan di atas adalah pendapat pribadi penulis)
https://nasional.kompas.com/read/2018/12/28/17315151/paris-call-demokrasi-di-internet-dan-tantangan-untuk-indonesia