Juru Bicara KPK Febri Diansyah menjelaskan, penyidik mendapatkan sinyal positif atas keterangan lengkap yang disampaikan Agus.
Agus diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Direktur PT Diratama Jaya Mandiri, Irfan Kurnia Saleh.
"Dalam pemeriksaan tadi ada sinyal positif, karena saksi menjelaskan berbagai hal yang ia ketahui, terkait dengan proses, pengadaan helikopter tersebut ketika masih aktif (sebagai KSAU)," kata Febri di gedung KPK, Jakarta, Rabu (6/6/2018) malam.
Keterangan Agus, kata Febri, akan dipelajari oleh penyidik dan dikaitkan dengan keterangan dari saksi-saksi lainnya.
Di sisi lain, Febri juga berharap Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) segera menerbitkan laporan kerugian negara dalam pengadaan helikopter ini.
"Agar proses di KPK dan POM TNI-nya juga berjalan jauh lebih baik. Jadi kami berharap kepada BPK untuk dapat menyelesaikan auditnya," kata dia.
Sebelumnya, seusai diperiksa, Agus mengaku tak ingin memancing kegaduhan perihal masalah pengadaan helikopter tersebut. Ia menduga, ada pihak-pihak tertentu yang memancing kegaduhan dan sengaja menyeret namanya dalam kisruh kasus ini.
Padahal, kata Agus, masalah pengadaan helikopter ini harusnya bisa diselesaikan secara kondusif.
"Sebetulnya bisa duduk bersama, semua level menteri, panglima sekarang, dan dulu kami pecahkan bersama masalah ini," ujar Agus di gedung KPK, Jakarta, Rabu (6/6/2018) sore.
Namun demikian, Agus tak menyebutkan secara spesifik siapa pihak yang dimaksud.
Kuasa hukum Agus, Teguh Samudra mengungkapkan, kliennya menjelaskan rangkaian prosedur dan aturan terkait pengadaan barang di TNI kepada penyidik KPK. Sebab, penyidik tak mengetahui proses pengadaan di dalam TNI.
"Itu dijelaskan aturan-aturan dari masalah RAPBN sampai peraturan bersama antara Menteri Keuangan dengan Menteri Pertahanan. Peraturan Menteri Pertahanan, Peraturan Panglima itu dijelaskan kepada penyidik," kata Teguh.
Hal itulah yang membuat pemeriksaan kliennya berlangsung sekitar tujuh jam. Teguh menilai, penetapan adanya tindak pidana korupsi dalam kasus pengadaan helikopter ini terkesan terburu-buru.
"Ini yang saya khawatirkan, kalau ini barang langka yang kita cari susah, alutsista ini kemudian disita tidak dipanasi, ibaratnya mobil, tidak untuk penerbangan ini akan hancur jadi besi tua. Nah yang rugi siapa? Kita-kita juga," kata dia.
Sementara itu tim kuasa hukum lainnya, Fadli menilai perkara ini masih prematur dan belum ada audit dari Badan Pemeriksa Keuangan akan adanya kerugian negara. Ia juga menyesalkan ketika kasus ini sudah dianggap menimbulkan kerugian negara ketika audit BPK belum dikeluarkan.
Dalam kasus ini, TNI menetapkan lima orang tersangka dari jajarannya.
Mereka adalah Kepala Unit Pelayanan Pengadaan Kolonel Kal FTS SE, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam pengadaan barang dan jasa Marsekal Madya TNI FA, dan pejabat pemegang kas Letkol administrasi WW.
Lainnya, staf pejabat pemegang kas yang menyalurkan dana ke pihak-pihak tertentu, yakni Pelda (Pembantu Letnan Dua) SS dan asisten perencanaan Kepala Staf Angkatan Udara Marsda TNI SB.
Selain itu, staf pejabat pemegang kas yang menyalurkan dana ke pihak-pihak tertentu, yakni Pelda (Pembantu Letnan Dua) SS dan asisten perencanaan Kepala Staf Angkatan Udara Marsda TNI SB.
Sementara, KPK menetapkan satu tersangka, yakni Irfan Kurnia Saleh.
Diketahui, pembelian helikopter ini bermasalah karena adanya dugaan penggelembungan dana. Awalnya, pengadaan dikhususkan pada heli jenis VVIP untuk keperluan presiden.
Anggaran untuk heli tersebut senilai Rp 738 miliar. Namun, meski ditolak oleh Presiden Joko Widodo, pembelian heli tetap dilakukan.
Jenis heli diubah menjadi heli untuk keperluan angkutan. Selain itu, heli AW101 yang dibeli tersebut tidak cocok dengan spesifikasi yang dibutuhkan TNI Angkatan Udara.
https://nasional.kompas.com/read/2018/06/06/22210631/kpk-apresiasi-keterangan-mantan-ksau-dalam-kasus-heli-aw101