Menurut Kalla, aturan dalam UU Ormas yang baru disahkan itu tidak jauh berbeda dengan UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas, yang direvisi pemerintah melalui penerbitan Perppu Ormas.
"Sebenarnya hampir sama, satu (UU Nomor 17/2013) pengadilan dulu, lalu pemerintah memutuskan. Nah ini pemerintah memutuskan dulu, kalau tak terima ya bawa ke pengadilan," kata Kalla di kantor Wakil Presiden, Jakarta, Selasa (31/10/2017).
"Prinsipnya berbeda tapi hampir sama. Ujungnya semua itu ke pengadilan. Ini dibalik sedikit," ujar Kalla.
Menurut Kalla, ormas tetap punya kesempatan untuk mengajukan gugatan ke pengadilan.
"Kalau pemerintah menganggap (ormas) terbukti melanggar Pancasila atau UU yang lain dapat dibubarkan. Tapi ormas dapat mengajukan banding ke pengadilan," kata dia.
Kalla juga membantah anggapan bahwa aturan dalam UU Ormas bisa mempidanakan anggota suatu kelompok ormas yang telah dibubarkan.
"Kalau anggota, enggak lah. Sudah dibubarkan HTI. Ada enggak orang HTI yang dipidana?" kata Kalla.
Meski demikian menurut Kalla pemerintah menerima dengan tangan terbuka jika ada pihak yang berkeinginan untuk melakukan revisi UU Ormas.
"Kalau memang ada yang mengusulkan melalui prosedur DPR ya pasti bisa kalau mau," tutur Kalla.
Tiga poin
Sebelumnya, Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan, ada tiga poin revisi UU Ormas yang akan diajukan kepada pemerintah dan DPR.
Pertama, kewenangan untuk menentukan ormas yang anti-Pancasila tidak boleh ditentukan oleh Menteri Dalam Negeri dan Menteri Hukum dan HAM.
Kedua, sanksi yang diberikan terhadap ormas yang melanggar tidak perlu sampai menjerat seluruh anggotanya.
Ketiga, harus ada proses pengadilan yang ditempuh dalam proses pembubaran ormas agar berlangsung terukur, obyektif, dan tidak sewenang-wenang.
https://nasional.kompas.com/read/2017/10/31/20204821/wapres-kalla-nilai-tetap-ada-mekanisme-peradilan-dalam-uu-ormas