JAKARTA, KOMPAS.com - Lembaga peradilan sudah semestinya mandiri dan berdiri sendiri. Bahkan tidak boleh diawasi, tetapi boleh "dijaga".
Oleh karena itu, jikapun ada usulan dibentuknya lembaga baru yang berfungsi mempertahankan nilai-nilai keluhuran hakim, maka substansi dan penyebutannya itu sebagai lembaga yang menjaga, bukan mengawasi.
Hal ini disampaikan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat menanggapi banyaknya pihak yang berpendapat bahwa perlunya pengawasan terhadap lembaga MK.
(baca: Di Hadapan MKMK, Patrialis Akui Bocorkan Draf Putusan Uji Materi)
Terlebih, pascapenangkapan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Penangkapan tersebut terkait uji materi UU di MK.
Menurut Arief, kata "menjaga" dan "mengawasi" merupakan dua hal yang substansinya berbeda. Pada kata mengawasi, akan menimbulkan kesan adanya sub-ordinat atau tingkatan.
Kemudian dengan adanya pengawasan, maka seakan-akan membuat hakim takut dalam mengambil keputusan lantaran adanya pihak yang lebih berwenang di atasnya, yakni pihak yang mengawasi.
(baca: Menurut Bagir Manan, Ada 3 Dugaan Pelanggaran Etik yang dilakukan Patrialis)
Hal ini, menurut Arief, akan bertentangan dengan nilai independensi.
"Filosofi keduanya berbeda," ujar Arief di gedung MK, Jakarta Pusat, Jumat (4/2/2017).
Arief melanjutkan, tolok ukur keberhasilan pengawas adalah jika menemukan celah buruk dari pihak yang diawasi.
Hal ini berbeda dengan penjagaan yang tolok ukurnya adalah jika pihak yang dijaganya itu justru tidak melakukan kesalahan sama sekali selama prosesnya berjalan.
"Sehingga yang dijaga pun enggak merasa ada beban," kata Arief.
(baca: MK Dinilai Perlu Lembaga Pengawas Etika dan Perilaku Hakim)
Menurut Arief, konstitusi tidak menyebut Komisi Yudisial (KY) sebagai lembaga pengawas perilaku hakim.