JAKARTA, KOMPAS.com - Sejumlah organisasi masyarakat sipil menilai, polemik kasus dugaan penistaan agama oleh Gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok merupakan ujian dalam proses membangun sistem demokrasi di Indonesia.
Direktur International NGO Forum on Development (INFID) Sugeng Bahagijo mengatakan, kedewasaan elite politik maupun masyarakat Indonesia dalam berdemokrasi bisa dilihat dari cara menyikapi kasus Ahok.
Namun, ia menekankan, dinamika sosial kemasyarakatan yang terjadi saat ini jangan sampai melanggar konstitusi sebagai dasar kehidupan bernegara.
Dinamika itu harus didasarkan pada supremasi hukum.
"Pada saat sekarang seluruh pihak harus menghargai proses hukum dan demokrasi yang sedang berjalan, tanpa tekanan, sehingga hasilnya adil bagi semua pihak," ujar Sugeng, dalam diskusi 'Penegakan Hukum dan Dinamika Proses Demokrasi', di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (15/11/2016).
Sugeng mengatakan, kedewasaan pemerintah juga diuji melalui penanganan kasus Ahok.
Jika hukum tunduk pada tekanan massa, pada saat yang sama pemerintah dan aparat telah memberi ruang bagi praktik anti-demokrasi di Indonesia.
"Poses hukum dan demokrasi saling menguatkan. Demokrasi seharusnya berjalan tanpa tekanan dan pengerahan massa, sesuai dengan rule of law," kata dia.
Pada kesempatan yang sama, Koordinator Jaringan Gusdurian Alissa Wahid menegaskan, sistem demokrasi yang dipilih oleh Indonesia saat ini bukan merupakan sistem yang berdasarkan pada suara mayoritas.
Menurut Alissa, segala dinamika sosial yang terjadi harus direspons melalui perangkat hukum yang telah ditetapkan.
Dengan demikian, persoalan salah atau benar terkait kasus Ahok ditentukan mekanisme hukum yang tidak memihak dan tanpa intervensi dari kelompok mayoritas.
"Demokrasi Indonesia itu tidak berdasarkan pada suara mayoritas. Pada prinsipnya demokrasi adalah dari, untuk dan oleh rakyat," ujar Alissa.