JAKARTA, KOMPAS.com - Deputi Program Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan, pemerintah seharusnya melakukan kajian yang mendalam saat membuat draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu.
Sebab, menurut Khoirunnisa, dalam RUU Pemilu ditemukan 23 pasal yang melanggar putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
"Harusnya pemerintah ketika buat draf sudah punya data atau kajian pasal-pasal apa saja yang sudah digugat dan diputuskan MK," kata Khorunnisa melalui pesan singkat, Selasa (8/11/2016).
Menurut Khorunnisa, pemerintah memiliki waktu yang cukup panjang saat membuat draf RUU Pemilu. RUU Pemilu, kata dia, telah masuk program legislasi nasional (Prolegnas) 2016.
"Akhir 2015 kan sudah ada list Prolegnas-nya apa saja UU yang akan dibahas," ucap Khorunnisa.
Khorunnisa menuturkan, pemerintah seakan terlalu memberi perhatian pada sistem pemilu antara sistem pemilu proporsional terbuka dan sistem pemilu proporsional tertutup. Akibatnya, lanjut Khoirunnisa, pasal lain menjadi terabaikan.
Contohnya, pemerintah pada awalnya berkeinginan alokasi kursi legislatif di daerah pemilihan paling sedikit 3 kursi dan saling banyak 8 kursi (3-8). Namun, ketentuan itu berubah menjadi 3-10 kursi per daerah pemilihan.
"Karena kalau mengubah 3-8 harus ada simulasi penataan alokasi kursi dan waktunya tidak sempat. Sama juga dengan soal pasal-pasal yang sudah diputus oleh MK," ujar Khorunnisa.
Lembaga Penelitian Konstitusi dan Demokrasi (KODE) Inisiatif sebelumnya menemukan adanya 23 pasal krusial dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyelenggaraan Pemilu yang berpotensi melanggar konstitusi atau putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
(Baca: 23 Pasal di RUU Pemilu Berpotensi Langgar UUD 1945)
Ketua KODE Inisiatif Veri Junaidi mengungkapkan, 23 pasal krusial ini dikelompokan ke dalam sembilan kualifikasi.
Adapun kualifikasi itu: penyelenggara; syarat calon; sistem pemilu; Keterwakilan perempuan; Syarat parpol dalam pengajuan calon presiden atau wakil presiden; Larangan kampanye pada masa tenang; Ketentuan sanksi kampanye; Waktu pemilu susulan atau lanjutan; dan Putusan DKPP terkait etika penyelenggaraan pemilu.
Mengenai penyelenggaraan pemilu, misalnya. Aturan keharusan bagi KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara negara untuk rapat dengar pendapat bersama DPR merupakan suatu kejanggalan. Apalagi hasil dari rapat tersebut mengikat.
(Baca: Empat Pasal RUU Pemilu soal Penyelenggara Berpotensi Langgar Konstitusi)
Sebab, kata Veri, hal ini bertentangan dengan Pasal 22 E Ayat 5 UUD 1945. Pasal itu menyebutkan bahwa pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Artinya, tak diperlukan RDP yang bersifat mengikat.
Pada draf UU Pemilu, aturan RDP tersebut tercantum dalam Pasal 58 Ayat 4.