JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Polri Jenderal Pol Tito Karnavian mengatakan, selama sebulan terakhir Polri gencar menindak oknum polisi yang melakukan pungutan liar.
Hal tersebut sesuai dengan perintah Presiden Joko Widodo untuk memberantas Pungli.
Namun, sanksi pidana tidak akan langsung dikenakan serentak kepada oknum polisi.
"Shock therapy dulu secara bertahap. Kalau kita langsung pidanakan semua itu, nanti demoralisasi karena memang anggaran kurang," ujar Tito di kompleks Mabes Polri, Jakarta, Rabu (19/10/2016).
Menurut Tito, salah satu faktor yang menyebabkan maraknya praktik pungli di lingkungan Kepolisian karena kurangnya anggaran. Mereka mencoba cara curang dengan memeras masyarakat.
(baca: Jokowi: Serupiah Pun Akan Saya Urus kalau Pungli!)
"Belanja barang Polri kan hanya 20 persen. Untuk Polsek dan Polres memang kurang," kata Tito.
"Sambil memperbaiki itu, kita bikin shock therapy di anggota-anggota ini," lanjut dia.
Begitu pula oknum pungli di luar instansi kepolisian. Menurut dia, tangkap tangan di Kementerian Perhubungan sebagai contoh untuk memberikan efek kejut bagi PNS lainnya jika masih ada yang berani melakukan pungli.
"Kami bikin shock therapy, setelah itu kami serahkan ke instansi yang bersangkutan untuk memperbaiki sambil kami monitor," kata Tito.
(baca: 101 Polisi Ditangkap Kasus Pungli, Paling Banyak dari Polda Metro)
Sejak 17 Juli hingga 17 Oktober 2016, Divisi Propam telah menangani 235 kasus pungutan liar oleh oknum polisi se-Indonesia.
Oknum polisi pungli paling banyak ditemukan pada fungsi lalu lintas, yakni sebanyak 160 kasus.
Disusul dengan fungsi pemeliharaan keamanan sebanyak 39 kasus, dan fungsi reserse kriminal sebanyak 26 kasus.
Pelanggaran paling banyak ditemukan di Polda Metro Jaya, yakni 33 kasus.
(baca: Istana: Presiden Perintahkan Beri "Shock Therapy" bagi Pelaku Pungli)
Ada tiga jenis sanksi yang bisa dikenakan terhadap oknum polisi yang melakukan praktik pungli, yaitu berdasarkan ketentuan etik, ketentuan disiplin, dan ketentuan pidana.
Sejauh ini, sebanyak 140 kasus diidentifikasi termasuk pelanggaran disiplin, 83 kasus pelanggaran etik, dan 12 kasus pelanggaran pidana.