JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Sub Direktorat Kasasi Perdata, Direktorat Pranata dan Tata Laksana Perkara Perdata Mahkamah Agung (MA), Andri Tristianto Sutrisna didakwa menerima suap dan gratifikasi dari sejumlah pihak yang berperkara di Mahkamah Agung.
Dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Andri diduga tidak hanya menerima suap dan gratifikasi dari beberapa barang bukti yang dimiliki Jaksa. Hal itu terungkap dari fakta bahwa pendapatan Andri tidak sebanding dengan pengeluarannya setiap bulan.
Berdasarkan Surat Keputusan Sekretaris Mahkamah Agung tanggal 23 Oktober 2012, dengan golongan ruang IV B yang terdiri dari gaji pokok dan renumerasi, maka gaji Andri per bulannya mencapai Rp 18 juta.
Jika ditambah dengan penghasilan usaha, maka pendapatan Andri per bulan mencapai Rp 21 juta.
(Baca: Besan Nurhadi dan Pejabat MA Diduga Atur Perkara Kasasi Golkar)
"Fakta jumlah pendapatannya tidak sebanding lurus dengan harta kekayaan yang dimiliki terdakwa, dan biaya pengeluaran kehidupan terdakwa setiap bulannya yang fantastis, sebesar Rp 30 juta," ujar Jaksa Ahmad Burhanudin di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (4/8/2016).
Pada 2011, Andri membeli rumah mewah di San Lorenzo Gading Serpong, dengan cara mengangsur setiap bulannya sebesar Rp 70 juta. Andri juga membeli 2 unit mobil secara tunai berupa mobil sedan Toyota Altis senilai Rp 300 juta dan mobil merk Nissan Juke senilai Rp 200 juta.
Tahun 2014, Andri membeli mobil merk Honda Mobilio secara tunai seharga Rp 160 juta, dan tahun 2015 membeli mobil merk Ford Jenis Eco Sport secara tunai.
(Baca: Pejabat MA Dituntut 13 Tahun Penjara)
Andri juga memiliki tiga unit rumah, yaitu di Jalan San Lorenzo 5 No 11, Gading Serpong Tangerang, rumah di Jalan Taman Parahyangan 1 No 12 Lippo Karawaci Tangerang, dan rumah di Malang.
"Sehingga, saat terdakwa masih di bagian humas, juga telah menerima sejumlah uang yang terkait dengan pengurusan perkara," kata Burhanudin.
Menurut Burhanudin, Andri telah mengakui bahwa pembelian rumah dan mobil sebagian berasal dari uang-uang pengurusan perkara sebagai penghasilan yang tidak sah.