Fantasmagoria
Karakteristik menonjol dalam dinamika demokrasi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir adalah begitu cepat muncul dan menghilangnya perhatian dan kesadaran publik.
Iring-iringan pergantian peristiwa, isu, dan representasinya dalam citraan media berlalu lalang dalam kecepatan tinggi.
Reaksi-reaksi emosional, eforistik, dan heroistik begitu cepat mengemuka, tapi dalam waktu singkat lenyap entah kemana.
Segalanya tergantikan oleh peristiwa dan kejutan-kejutan lain tanpa kita pernah mampu mengolah, menganalisis, dan menciptakan pengetahuan darinya, apalagi membangun gerakan sosial untuk mencipta perubahan. Citraan media mengendalikan ingatan publik hingga begitu cekak.
Berbagai peristiwa itu berlangsung dalam ruang waktu yang acak. Proses percepatannya nyaris tak mampu lagi diolah oleh kemampuan pikiran kolektif.
Akibatnya, pengritisan atasnya pun tak memiliki bentuk, kerangka, arah dan tujuan yang jelas. Dia hadir untuk kemudian hilang begitu saja dalam telaga lupa. Yang muncul hanya semacam turbulensi kesadaran, yang menghasilkan pikiran-pikiran yang tak berpola dan diprediksikan arahnya.
Yasraf A Piliang pernah menyebut hal ini sebagai fantasmagoria (phantasme=produk fantasi atau ilus, agrorie=mengumpulkan). Sebuah bombardir citraan dan ilusi yang datang dan pergi dalam kecepatan tinggi, yang memborbardir ruang kesadaran.
Hal ini karena semakin mudahnya akses ke berbagai gerbang informasi di berbagai media, terutama televisi dan internet.
Kita hidup pada suatu masa di mana fakta-fakta bersimpang siur dengan rekayasa; tanda melebur dengan realitas; dusta bersenyawa dengan kebenaran. Kategori-kategori kebenaran, kepalsuan, keaslian, isu, realitas seakan-akan tidak berlaku lagi.
Tanpa kita sadari, seiring waktu, elite-elite politik menyadari kecenderungan ini dan memanfaatkannya. Mereka tanpa perlu malu memanfaatkan jabatan dan uang negara untuk kepentingan pribadi, mencipta kontroversi, mereguk popularitas, mencipta disinformasi untuk mengaburkan fakta dan kebenaran, lalu membangun citra simpatik untuk menambal kebobrokan dengan serangkaian hipokrisi dengan uang yang didapat dari hanky panky. Untuk akhirnya terpilih kembali dalam pemilu. Reguk keuntungan lagi. Begitu seterusnya.