Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mohamad Burhanudin
Pemerhati Kebijakan Lingkungan

Penulis lepas; Environmental Specialist Yayasan KEHATI

Revolusi Kaum Milenial dan Musim Semi yang Tak Kunjung Tiba

Kompas.com - 21/03/2016, 09:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Revolusi adalah sejarah manusia, tapi manusia tak pernah bisa memesan kemunculannya. Ia datang dalam situasi yang dipilihnya sendiri. Namun, Ia juga membuka segala kemungkinan untuk terus diupayakan.

Dalam satu dekade terakhir, nyaris tanpa kita sadari, revolusi telah terjadi di negeri ini, bahkan dunia. Tanpa pekik massa dan letusan senjata, anak-anak muda itu telah mengubah kehidupan lewat dunia digital yang terus tumbuh dan berkembang tak tertahankan.

Dengan teknologi digital, mereka tak hanya mengubah ke gaya hidup, tetapi juga kebiasaan, serta pola dan arah perekonomian kini dan ke depan.

Anak-anak muda itu adalah yang kini akrab disebut sebagai generasi milenial atau digital native. Umumnya mereka lahir pada era 1980-an hingga awal 2000-an. Mereka juga dikenal sebagai generasi Y.

Sebuah generasi yang lahir dan tumbuh dengan nyaman dalam lingkungan serba digital.  Nyaris sebagian besar renik kehidupan mereka dihantar oleh internet dan dipermudah oleh perangkat jaringan maya.

Mereka membentuk dan mematut diri melalui jaringan media sosial, seperti Twitter, Facebook, Path dan sebagainya. Membangun gaya, model perilaku, dan bahasa-bahasa baru dalam alur komunikasi dan interaksi yang sangat cepat, massif, dan penuh fantasmagoria.

Tidak ada lagi jarak, dan semua saling terkoneksi. Mereka mengubah tatanan nilai dan gaya hidup selama ini menjadi serba digital.

Jumlah mereka sangat besar, dan diyakini akan menjadi yang terbesar di Indonesia pada tahun 2020. Bank Dunia memprediksikan, pada tahun tersebut, jumlah usia produktif akan melonjak hingga 50-60 persen. Kini jumlah usia produktif 15-35 tahun sudah mencapai 40 persen.

Namun, revolusi ini bukan semata perkara data statistik demografi yang menempatkan generasi milenial dalam jumlah yang terbesar.

Kedekatan dan keterpaparan yang begitu lazim oleh dunia digital, membuat generasi ini tampil sebagai yang terdepan dalam kreativitas, pemanfaatan, dan pembentuk tren dalam segala sisi kehidupan melalui perangkat digital.

Mereka menjadi pasar besar yang nan konsumtif, tapi sekaligus pelaku ekonomi yang menciptakan permintaan produktif. Sebagai contoh, Nadiem Makarim dengan Gojek-nya; William Tanuwijaja lewat Tokopedia-nya; atau Ahmad Rizqi Meydiarso melalui Yess Boss-nya.

Tidak hanya di perekonomian, banyak perubahan yang dibawa oleh Generasi Milenial dengan platform digital. Kitabisa.com yang digagas oleh Alfatih Timur bersama Vikra Ijas membawa perubahan di ranah sosial.

Peristiwa terbakarnya Masjid Tolikara pada saat shalat berjamaah Idul Fitri 2015 banyak menimbulkan keprihatinan di berbagai lapisan masyarakat. Berkat platform crowdfunding Kitabisa.com ini, Pandji Pragiwaksono berhasil mengumpulkan dana untuk membangun kembali Masjid tersebut sebanyak Rp 300 juta hanya dalam waktu tiga hari.

Generasi Milenial bukan sekadar generasi manusia dalam bingkai kelompok umur. Dia membentuk gaya hidup, cara pandang, dan perilaku, yang berpengaruh lintas generasi.

Maka tidak heran, tren yang mereka hasilkan membuat orang di luar kelompok generasi Y pun, terutama yang lebih tua, kini banyak yang mengikuti gaya dan perilaku milenial.

Digerakkan kelas menengah

Bersama ekspansi media sosial, industri informasi dan teknologi global maupun nasional, sepak terjang Generasi Milenial ini mengisi kekosongan posisi hegemonik negara dalam satu dekade terakhir, yang sebelumnya dikuasai berpuluh-puluh tahun oleh rezim otoritarian.

Mereka digerakkan oleh kaum profesional muda yang sedang  berada di tengah-tengah karir mereka, serta kelas menengah perkotaan yang tengah melonjak jumlahnya, yang menurut Prof Gerry van Klinken dalam bukunya In Search of Middle Indonesia, diperkirakan jumlahnya telah mencapai 45 persen dari seluruh jumlah penduduk Indonesia pada 2009.

Memang, kelas menengah baru ini tidak mewakili aspirasi seluruh masyarakat Indonesia. Namun, jumlah mereka terus bertambah, dengan suara amat lantang di ruang publik, terutama di ruang publik digital.

Tidak heran, mereka sangat menarik perhatian para elite politik dan ekonomi, baik sebagai sekutu, pasar, agen, hingga bibit musuh. Mereka beragam, tapi secara umum memiliki kesamaan, yakni pada tingkat pendidikan, kemampuan ekonomi, selera kultural, pola konsumsi, dan ketertarikan terhadap persoalan-persoalan nasional dan internasional.

Dan tentu saja, mereka adalah generasi yang sangat akrab, dan memperkuat dirinya dengan akses internet dan media sosial.

Dalam politik, kehadiran kelas menengah milenial ini begitu berpengaruh dalam satu dasawarsa terakhir. Hingga, pelaku-pelaku politik tak bisa memperkuat posisi politik mereka, terutama dalam politik pemilihan, dengan mengabaikan keberadaan kaum milenial ini.

Lihatlah, sejak zaman Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, tren menggunakan media sosial sebagai pembentuk citra politik, selalu melibatkan kelompok ini.

Kemenangan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam Pemilu 2014 tak bisa dilepaskan dari sepak terjang Generasi Milenial dalam membangun situs, membuat jejaring maya, mengolah isu, memroduksi kata, serta mengguritakan pesan-pesan viral via media sosial.

Dan, yang teraktual dapat kita lihat, popularitas Basuki Cahaya Purnama atau Ahok begitu kuat dengan mengoptimalkan peran peer group pendukungnya yang bernama Teman Ahok, yang notabene sebagian besar digerakkan oleh Generasi Milenial.

Di negara-negara Arab, bahkan, pada awal paruh kedua dekade abad ke-21, revolusi digital yang dihadirkan kaum muda ini tertransformasi ke dalam bentuknya yang paling radikal, yaitu perubahan sosial politik.

Musim semi demokrasi menyeruak di Tunisia, Mesir, Aljazair, Bahrain, dan Libya. Namun sayangnya, musim semi itu dengan cepat segera diikuti oleh muramnya pertikaian politik yang penuh darah dan air mata.

Tapi setidaknya, sejarah telah mencatat, gerakan kaum muda berbasis digital itu telah turut menyemai semangat dan gerakan menuju demokrasi secara revolusioner, memutus kemandekan, dan tak pernah terbayangkan akan bisa terjadi di era-era sebelumnya yang analog.

Belum substansial

Di Indonesia, sayangnya, gelombang perubahan yang dihadirkan Kaum Milenial tersebut belum menciptakan sebuah musim semi demokrasi yang substansial.

Kemunculannya tak serta merta mampu memupus anomali-anomali demokrasi, yang kian banal hadir meski era demokratisasi telah berjalan selama 17 tahun.

Lihatlah, di tengah arus informasi yang sangat terbuka ini, korupsi kian telanjang terjadi. Supremasi hukum hanya menemukan kekuatannya di hadapan rakyat kecil, namun tersungkur di hadapan orang-orang kuat.

Institusi politik dan birokrasi dikuasai para politikus dan birokrat pemburu rente. Intoleransi mudah merebak. Pembungkaman terhadap sikap dan ekspresi kritis menggejala.

Pertanyaannya, mengapa revolusi oleh Kaum Milenial di Indonesia tak kunjung menghadirkan perubahan demokratis yang substansial?

Barangkali Slavoj Sizek benar belaka saat mengatakan, revolusi bukanlah sekadar penjelmaan ide yang abadi. Revolusi tak sekadar berbicara tentang keadilan.

Dia meledak tanpa harus terkait dengan kebutuhan-kebutuhan yang normatif semacam itu. Dia hadir oleh karena situasi material membentuknya, dan ada orang-orang yang terjepit yang membutuhkan perubahan dan punya akses untuk melakukannya.

Manusia memang membuat sejarah, kata Karl Marx suatu ketika, tapi di bawah kondisi yang bukan dipilihnya sendiri. Tak ada satu pun model revolusi yang sama dalam sejarah.

Revolusi Perancis berbeda polanya dengan Revolusi di Rusia, Revolusi Mao tak pernah sama dengan yang terjadi di Kuba, Korea Utara, dan Vietnam. Pun begitu dengan Revolusi Milenial di Indonesia ini.

Namun begitu, bukan berarti revolusi adalah hal yang bersifat terberi. Dia adalah rentetan produk sejarah. Dia membutuhkan prasyarat yang senantiasa harus terus disemai meski rezim borjuis dan ororitarian berhasil ditumbangkan sekalipun.

Prasyarat itu adalah bahwa revolusi haruslah buah panas dari kemarahan yang otentik dan antagonisme yang mendalam.

Fragmentasi identitas

Revolusi yang digerakkan anak-anak muda kelas menengah di Indonesia dalam satu dekade terakhir bukanlah ahistoris. Dia juga dibentuk oleh sejarahnya. Dia juga memiliki logika revolusioner yang sama dengan revolusi yang lainnya, yakni sebagai buah yang panas dari kemarahan  otentik.

Sayangnya, dalam perkembangannya tak disemai dengan antagonisme yang mendalam berbasis kelas, melainkan identitas.  

Revolusi Milenial di Indonesia hadir dan tumbuh beberapa tahun setelah gerakan demokratisasi dimulai. Pada awal periode ini, khususnya sejak dekade pertama abad ke-21, Indonesia sempat menikmati masa gegap gempita dan semerbak bunga-bunga optimisme akan sebuah perubahan yang demokratis dan kesejahteraan yang merata.

Namun, dengan cepat dan segera euforia itu lunglai di hadapan waktu dan keadaan. Pertumbuhan ekonomi ternyata diikuti dengan ketimpangan kesejahteraan kaya-miskin yang kian menganga, korupsi meluas, institusi penegak hukum kian tampil buruk, dan dunia politik dikuasai perilaku buruk partai politik yang berjejaring dengan kekuatan  oligarki busuk lainnya.

Di pihak lain, orang-orang yang dulu dipandang turut menyemai gerakan pro-demokrasi justru kemudian masuk ke dalam lingkaran kekuasaan oligarki itu.

Tak pelak, euforia berubah menjadi drama kekecewaan dan keputusasaan yang luas di masyarakat, termasuk kelas menengah. Politik identitas menjadi tambatan nyaman dari kekecewaan, frustasi, dan kemarahan atas situasi.

Fragmentasi dalam masyarakat sipil pun meluas. Kelas menengah lebih memilih berjuang atas nama identitas daripada membangun perjuangan kelas melawan oligarki.

Pada saat yang sama, ekspansi industri media digital global maupun nasional pada awal abad ke-21 ini menemukan titik tertingginya dibanding periode-periode sebelumnya.

Pada dekade kedua, ekspansi tersebut kian merangsek dalam seiring berkembang pesatnya media sosial, gawai teknologi, dan ragam aplikasi digital.

Seiring dengan itu, Generasi Milenial mendewasa sebagai generasi baru di Indonesia. Mereka tumbuh bersama teknologi digital. Menguasainya dengan sangat baik, dan tergantung erat dengannya dalam hampir semua sendi kehidupan.

Namun, sebagaimana umumnya kelompok masyarakat sipil di Indonesia lainnya, generasi Milenial ini (yang kemudian mengisi sebagian besar slot kelas menengah perkotaan di negeri ini), juga terfragmentasi dalam beragam identitas. Maka tidak heran, ekspresi mereka kerap didasarkan di mana posisi identitas mereka.

Ekspansi dunia digital juga kian mengkristalkan sikap konservatif, dan tak jarang menyuburkan kebencian antarkelompok. Antagonisme yang muncul pun lebih bersifat horisontal daripada vertikal.

Perdebatan yang berbasis identitas, misalnya yang aktual tentang isu LGBT, Syiah-Sunni, ataupun label halal-haram, jauh lebih mengemuka ke ruang publik digital daripada isu-isu struktural terkait Sepuluh Paket Kebijakan Ekonomi Pemerintah yang cenderung berpihak kepada pemilik modal itu.

Kesadaran politik perlawanan kelas yang lemah oleh generasi baru tersebut juga membuat mereka rawan terseret dalam kepentingan politik praktis.

Betapa dalam 1,5 tahun terakhir, sebagian kelas menengah kita, terlalu disibukkan dengan pertarungan berbasis dukungan politik terhadap dua pasangan kandidat presiden-wakil presiden yang bertarung pada Pemilu 2014 lalu.

Kritisisme terhadap pemerintah baru lebih didasarkan karena ekspresi kebencian, sehingga mudah dipatahkan dan distigmatisasi dengan sebutan haters.

Sementara, kelompok kritis yang dipandang netral dan progresif lebih disibukkan bertarung dalam isu-isu identitas. Akibatnya, isu-isu struktural relatif terabaikan. Kalau pun mendapat perhatian, sangat lemah energi yang mendorongnya.

Di pihak lain, kaum oligarki dengan sumber daya ekonomi politik yang mereka miliki, mampu beradaptasi dan membangun konsolidasi yang jauh lebih cepat dan solid dibanding yang mampu dilakukan kelas menengah.

Fantasmagoria

Karakteristik menonjol dalam dinamika demokrasi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir adalah begitu cepat muncul dan menghilangnya perhatian dan kesadaran publik.

Iring-iringan pergantian peristiwa, isu, dan representasinya dalam citraan media berlalu lalang dalam kecepatan tinggi.

Reaksi-reaksi emosional, eforistik, dan heroistik begitu cepat mengemuka, tapi dalam waktu singkat lenyap entah kemana.

Segalanya tergantikan oleh peristiwa dan kejutan-kejutan lain tanpa kita pernah mampu mengolah, menganalisis, dan menciptakan pengetahuan darinya, apalagi membangun gerakan sosial untuk mencipta perubahan. Citraan media mengendalikan ingatan publik hingga begitu cekak.

Berbagai peristiwa itu berlangsung dalam ruang waktu yang acak. Proses percepatannya nyaris tak mampu lagi diolah oleh kemampuan pikiran kolektif.

Akibatnya, pengritisan atasnya pun tak memiliki bentuk, kerangka, arah dan tujuan yang jelas. Dia hadir untuk kemudian hilang begitu saja dalam telaga lupa. Yang muncul hanya semacam turbulensi kesadaran, yang menghasilkan pikiran-pikiran yang tak berpola dan diprediksikan arahnya.

Yasraf A Piliang pernah menyebut hal ini sebagai fantasmagoria (phantasme=produk fantasi atau ilus, agrorie=mengumpulkan). Sebuah bombardir citraan dan ilusi yang datang dan pergi dalam kecepatan tinggi, yang memborbardir ruang kesadaran.

Hal ini karena semakin mudahnya akses ke berbagai gerbang informasi di berbagai media, terutama televisi dan internet.

Kita hidup pada suatu masa di mana fakta-fakta bersimpang siur dengan rekayasa; tanda melebur dengan realitas; dusta bersenyawa dengan kebenaran. Kategori-kategori kebenaran, kepalsuan, keaslian, isu, realitas seakan-akan tidak berlaku lagi.

Tanpa kita sadari, seiring waktu, elite-elite politik menyadari kecenderungan ini dan memanfaatkannya. Mereka tanpa perlu malu memanfaatkan jabatan dan uang negara untuk kepentingan pribadi, mencipta kontroversi, mereguk popularitas, mencipta disinformasi untuk mengaburkan fakta dan kebenaran, lalu membangun citra simpatik untuk menambal kebobrokan dengan serangkaian hipokrisi dengan uang yang didapat dari hanky panky. Untuk akhirnya terpilih kembali dalam pemilu. Reguk keuntungan lagi. Begitu seterusnya.

Universalitas isu

Kegagalan membangun isu bersama yang universal adalah persoalan akut dalam setiap gerakan politik di manapun di dunia. Terlebih di tengah masyarakat yang terbelah-belah oleh identitas. Karena itu, membangun isu bersama adalah hal yang tak bisa dielakkan dalam gelanggang revolusi.

Seperti Lafayyete yang tergerak oleh Revolusi Amerika sehingga kemudian membangun semboyan bersama untuk Revolusi Perancis dengan kalimat, “Semua kita di seluruh dunia dengan segera tak mustahil menyamakan diri dengannya.”

Di Mesir, kaum kiri harus menyelundupkan pesan mereka ke dalam kerangka yang paling kuat, yakni Islam. Di Alun Alun Tahrir, seruan yang bernada sekuler lebih mengemuka sebagai panji universalitas, yakni kebebasan dan keadilan.

Di Indonesia, Revolusi Kaum Milenial yang terpecah-pecah dan terimpit fantasmagoria tersebut gagal menghadirkan universalitasnya guna menghantar menuju perubahan menuju demokrasi yang substansial.

Kehadirannya baru sebatas menawarkan gaya hidup, kebiasaan, model kesempatan ekonomi, dan strategi politik baru.

Namun, bukan berarti hanya selesai sampai di situ. Revolusi tetaplah jalan untuk segala kemungkinan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 19 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 19 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Megawati Serahkan ‘Amicus Curiae’  ke MK, Anies: Menggambarkan Situasi Amat Serius

Megawati Serahkan ‘Amicus Curiae’ ke MK, Anies: Menggambarkan Situasi Amat Serius

Nasional
Megawati Ajukan Amicus Curiae, Airlangga: Kita Tunggu Putusan MK

Megawati Ajukan Amicus Curiae, Airlangga: Kita Tunggu Putusan MK

Nasional
Bupati Sidoarjo Tersangka Dugaan Korupsi, Muhaimin: Kita Bersedih, Jadi Pembelajaran

Bupati Sidoarjo Tersangka Dugaan Korupsi, Muhaimin: Kita Bersedih, Jadi Pembelajaran

Nasional
Airlangga Sebut Koalisi Prabowo Akan Berdiskusi terkait PPP yang Siap Gabung

Airlangga Sebut Koalisi Prabowo Akan Berdiskusi terkait PPP yang Siap Gabung

Nasional
Dikunjungi Cak Imin, Anies Mengaku Bahas Proses di MK

Dikunjungi Cak Imin, Anies Mengaku Bahas Proses di MK

Nasional
AMPI Resmi Deklarasi Dukung Airlangga Hartarto Jadi Ketum Golkar Lagi

AMPI Resmi Deklarasi Dukung Airlangga Hartarto Jadi Ketum Golkar Lagi

Nasional
MK Ungkap Baru Kali Ini Banyak Pihak Ajukan Diri sebagai Amicus Curiae

MK Ungkap Baru Kali Ini Banyak Pihak Ajukan Diri sebagai Amicus Curiae

Nasional
Bappilu PPP Sudah Dibubarkan, Nasib Sandiaga Ditentukan lewat Muktamar

Bappilu PPP Sudah Dibubarkan, Nasib Sandiaga Ditentukan lewat Muktamar

Nasional
Yusril Anggap Barang Bukti Beras Prabowo-Gibran di Sidang MK Tak Buktikan Apa-apa

Yusril Anggap Barang Bukti Beras Prabowo-Gibran di Sidang MK Tak Buktikan Apa-apa

Nasional
Panglima TNI Tegaskan Operasi Teritorial Tetap Dilakukan di Papua

Panglima TNI Tegaskan Operasi Teritorial Tetap Dilakukan di Papua

Nasional
TNI Kembali Pakai Istilah OPM, Pengamat: Cenderung Pakai Pendekatan Operasi Militer dalam Mengatasinya

TNI Kembali Pakai Istilah OPM, Pengamat: Cenderung Pakai Pendekatan Operasi Militer dalam Mengatasinya

Nasional
Tim Hukum Ganjar-Mahfud Tetap Beri Angka Nol untuk Perolehan Suara Prabowo-Gibran

Tim Hukum Ganjar-Mahfud Tetap Beri Angka Nol untuk Perolehan Suara Prabowo-Gibran

Nasional
Soal Bantuan Presiden, Kubu Ganjar-Mahfud: Kalau Itu Transparan, kenapa Tak Diumumkan dari Dulu?

Soal Bantuan Presiden, Kubu Ganjar-Mahfud: Kalau Itu Transparan, kenapa Tak Diumumkan dari Dulu?

Nasional
Minta MK Kabulkan Sengketa Hasil Pilpres, Kubu Anies: Kita Tidak Rela Pemimpin yang Terpilih Curang

Minta MK Kabulkan Sengketa Hasil Pilpres, Kubu Anies: Kita Tidak Rela Pemimpin yang Terpilih Curang

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com