Revolusi Perancis berbeda polanya dengan Revolusi di Rusia, Revolusi Mao tak pernah sama dengan yang terjadi di Kuba, Korea Utara, dan Vietnam. Pun begitu dengan Revolusi Milenial di Indonesia ini.
Namun begitu, bukan berarti revolusi adalah hal yang bersifat terberi. Dia adalah rentetan produk sejarah. Dia membutuhkan prasyarat yang senantiasa harus terus disemai meski rezim borjuis dan ororitarian berhasil ditumbangkan sekalipun.
Prasyarat itu adalah bahwa revolusi haruslah buah panas dari kemarahan yang otentik dan antagonisme yang mendalam.
Fragmentasi identitas
Revolusi yang digerakkan anak-anak muda kelas menengah di Indonesia dalam satu dekade terakhir bukanlah ahistoris. Dia juga dibentuk oleh sejarahnya. Dia juga memiliki logika revolusioner yang sama dengan revolusi yang lainnya, yakni sebagai buah yang panas dari kemarahan otentik.
Sayangnya, dalam perkembangannya tak disemai dengan antagonisme yang mendalam berbasis kelas, melainkan identitas.
Revolusi Milenial di Indonesia hadir dan tumbuh beberapa tahun setelah gerakan demokratisasi dimulai. Pada awal periode ini, khususnya sejak dekade pertama abad ke-21, Indonesia sempat menikmati masa gegap gempita dan semerbak bunga-bunga optimisme akan sebuah perubahan yang demokratis dan kesejahteraan yang merata.
Namun, dengan cepat dan segera euforia itu lunglai di hadapan waktu dan keadaan. Pertumbuhan ekonomi ternyata diikuti dengan ketimpangan kesejahteraan kaya-miskin yang kian menganga, korupsi meluas, institusi penegak hukum kian tampil buruk, dan dunia politik dikuasai perilaku buruk partai politik yang berjejaring dengan kekuatan oligarki busuk lainnya.
Di pihak lain, orang-orang yang dulu dipandang turut menyemai gerakan pro-demokrasi justru kemudian masuk ke dalam lingkaran kekuasaan oligarki itu.
Tak pelak, euforia berubah menjadi drama kekecewaan dan keputusasaan yang luas di masyarakat, termasuk kelas menengah. Politik identitas menjadi tambatan nyaman dari kekecewaan, frustasi, dan kemarahan atas situasi.
Fragmentasi dalam masyarakat sipil pun meluas. Kelas menengah lebih memilih berjuang atas nama identitas daripada membangun perjuangan kelas melawan oligarki.
Pada saat yang sama, ekspansi industri media digital global maupun nasional pada awal abad ke-21 ini menemukan titik tertingginya dibanding periode-periode sebelumnya.
Pada dekade kedua, ekspansi tersebut kian merangsek dalam seiring berkembang pesatnya media sosial, gawai teknologi, dan ragam aplikasi digital.