JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengusulkan sanksi yang lebih tegas bagi pelaku politik uang di pilkada. Tindakan hukum administrasi yang sanksinya berupa pembatalan calon harus bisa berjalan tanpa harus menunggu dijatuhkannya sanksi pidana.
Usulan itu menjadi salah satu poin yang akan diajukan KPU dan Bawaslu saat revisi Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Dalam draf revisi UU Pilkada yang disusun Kemendagri, proses dijatuhkannya sanksi administrasi berupa pembatalan calon dan sanksi pidana tidak berubah. Kedua sanksi baru dijatuhkan setelah ada putusan yang berkekuatan hukum tetap.
Namun, Kemendagri menambahkan, saksi di atas tetap dapat dijatuhkan kepada calon yang telah ditetapkan sebagai calon terpilih.
Kemendagri juga menambahkan ancaman pidana penjara paling singkat dua tahun dan paling lama enam tahun dan denda paling sedikit Rp 500 juta dan paling banyak Rp 1 miliar bagi calon yang melakukan politik uang.
Komisioner KPU Ida Budhiati, di Jakarta, Kamis (25/2/2016), menjelaskan, proses tindakan hukum administrasi selama ini terbukti lebih cepat daripada tindakan hukum pidana.
Tindakan hukum administrasi cukup ditangani Bawaslu yang kemudian rekomendasinya diserahkan ke KPU dan KPU wajib melaksanakannya.
Untuk pidana, prosesnya diawali dengan telaah oleh Bawaslu. Jika ada bukti awal yang cukup, lalu diserahkan ke kepolisian, kejaksaan, dan kemudian pengadilan hingga adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap.
Panjangnya proses pidana membuat proses itu sering kali baru diselesaikan setelah semua tahapan pilkada selesai. Ini membuat sanksi administrasi dinilainya lebih efektif dalam memberikan efek jera.
Oleh karena itu, lanjut Ida, untuk mencegah politik uang dan memberikan efek jera pada pelakunya, tindakan hukum administrasi perlu dipisahkan dari pidana.
Proses hukum administrasi diserahkan ke Bawaslu, sedangkan pidana ke kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Proses keduanya pun berjalan sendirisendiri, sanksi administrasi tak perlu menunggu sanksi pidana.
"Alasan di balik pentingnya hal ini adalah karena dalam sejarah pemilu di Indonesia pelaku politik uang selalu lolos dari sanksi pidana. Pembatalan pencalonan juga belum pernah terjadi. Padahal, politik uang marak terjadi," ucap Ida.
Masif
Anggota Bawaslu Nelson Simanjuntak mengatakan, usulan serupa akan diajukan Bawaslu.
"Politik uang pada pilkada 2015 sangat masif. Laporan yang masuk ke Bawaslu di seluruh daerah mencapai 900 laporan. Itu artinya harus ada terobosan aturan dengan ancaman sanksi yang lebih keras di undang-undang untuk mencegah politik uang," katanya.