Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 15/01/2016, 16:00 WIB

Di samping itu, kita sering gagal menuntut imbal balas dari negeri lain, seperti kasus dihalang-halanginya bank kita buka cabang di negeri asing tertentu, padahal mereka leluasa membuka cabang di sini. Kita salah dan kalah atau ragu memainkan kartu internasional kita. Menekan Singapura untuk menandatangani perjanjian ekstradisi saja tidak berani sehingga para pencoleng Indonesia hidup bebas di sana di bawah perlindungan dan untuk keuntungan Singapura.

Pada era global sekarang, modal asing diperebutkan oleh hampir semua negara di dunia. Setiap negeri mempromosikan negerinya bak wanita seksi agar dipinang. ‎Negeri-negeri lain bersaing memberikan pelayanan terbaik, tetapi di balik itu mereka juga rasional dengan menetapkan syarat yang menguntungkan negerinya. Bahkan negara kaya pun masih memperebutkan modal asing. Modal asing tidak ditolak, bahkan disambut, tetapi harus menciptakan pertumbuhan ekonomi, lapangan kerja, menambah pendapatan negara (pajak), meningkatkan cadangan devisa dengan membantu ekspor. Bukan sekadar menjadi tempat untuk memasarkan produk mereka di sini, mengeruk hasil alam mentah tanpa diproses lebih lanjut untuk memberi nilai tambah, atau membuka bank untuk menarik rente.

Masalah kita, modal asing yang banyak mampir ke Indonesia saat ini justru uang panas jangka pendek yang masuk ke bursa saham, surat utang pemerintah, deposito dengan bunga tinggi, dan sejenisnya yang sewaktu-waktu bisa ditarik dan mengacaukan stabilitas rupiah kita. Modal asing yang mencari rente jangka pendek, bukan modal asing dalam bentuk usaha tetap, terutama dalam bidang produksi dan infrastruktur yang sangat kita butuhkan.

Dalam era global di dunia tak berbatas saat ini, barangkali apa yang disebut nasionalisme dan kepentingan nasional itu harus dibuatkan definisi baru dan dijabarkan secara operasional. Ketika alasan politik sebuah kebijakan (raison d’etat) disepakati, kita sering tidak sepakat bagaimana cara melaksanakannya. Pada era sekarang barangkali kepentingan nasional itu tidak harus selalu berarti kepemilikan nasional, kecuali jika kita mau mengasingkan diri dan mengembangkan nasionalisme kita menjadi isolasionisme. Barangkali istilah nasionalisme atau bahkan kepentingan nasional lebih tepat apabila diganti dengan "keuntungan nasional". Idealnya memang kita yang memiliki dan hasilnya menguntungkan bangsa. Namun, buat apa kita miliki kalau justru ujungnya merugikan kita.

Sebagian pihak berpandangan konsep kepemilikan itu sudah usang. Kenapa? Karena kita masih berpikir dengan pola pikir lama. Memiliki berarti berkuasa. Memiliki berarti lebih untung. Pengusaha nasional lebih loyal kepada negara, katanya. Padahal, dengan rezim devisa bebas, kebocoran devisa kita terbesar yang mondok di negeri-negeri lain dalam bentuk hasil ekspor yang tidak dikirim kembali dan keuntungan usaha yang disimpan di sana, sebagian besar dilakukan oleh pengusaha nasional kita. "Dikuasai oleh negara" yang tercantum dalam konstitusi kita tidak boleh dibaca terpisah dari "untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat".

Makna berdikari juga perlu diperluas. Tak harus diartikan bahwa segala sesuatu harus dikerjakan sendiri dan di dalam negeri. Di era sekarang kita juga boleh dan bisa memiliki aset di negeri asing. Berdikari tidak berarti bahwa semua harus diproduksi di dalam negeri. BUMN kita bisa, umpamanya, membuka lahan luas di Myanmar untuk memproduksi beras untuk keperluan kita. Atau memiliki penyulingan minyak di negeri asing yang hasilnya untuk konsumsi dalam negeri. Segala kemungkinan saat sekarang terbuka luas, tinggal bagaimana kita pandai-pandai memanfaatkannya.

Utang luar negeri juga jangan selalu dianggap momok. Tentu saja asalkan utang itu tidak dikorupsi, tetapi digunakan untuk tujuan produktif, syarat-syaratnya wajar, dan sudah diperhitungkan pembayaran kembalinya dengan cermat.Sebuah usaha sulit untuk menjadi besar tanpa bantuan utang. Rasio utang luar negeri kita terhadap pendapatan domestik bruto yang 47 persen masih jauh di bawah beberapa negara lain seperti AS yang 92 persen dan Jepang 220 persen.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Biaya Ibadah Umrah dan Kurban SYL pun Hasil Memeras Pejabat Kementan

Biaya Ibadah Umrah dan Kurban SYL pun Hasil Memeras Pejabat Kementan

Nasional
SYL Sebut Perjalanan Dinas Atas Perintah Presiden untuk Kepentingan 280 Juta Penduduk

SYL Sebut Perjalanan Dinas Atas Perintah Presiden untuk Kepentingan 280 Juta Penduduk

Nasional
DKPP Sebut Anggarannya Turun saat Kebanjiran Kasus Pelanggaran Etik

DKPP Sebut Anggarannya Turun saat Kebanjiran Kasus Pelanggaran Etik

Nasional
Lima Direktorat di Kementan Patungan Rp 1 Miliar Bayari Umrah SYL

Lima Direktorat di Kementan Patungan Rp 1 Miliar Bayari Umrah SYL

Nasional
DKPP Terima 233 Aduan Pelanggaran Etik, Diprediksi Terus Bertambah Jelang Pilkada

DKPP Terima 233 Aduan Pelanggaran Etik, Diprediksi Terus Bertambah Jelang Pilkada

Nasional
KPK Bakal Usut Dugaan Oknum BPK Minta Rp 12 Miliar Terkait 'Food Estate' Ke Kementan

KPK Bakal Usut Dugaan Oknum BPK Minta Rp 12 Miliar Terkait "Food Estate" Ke Kementan

Nasional
Pejabat Kementan Tanggung Sewa 'Private Jet' SYL Rp 1 Miliar

Pejabat Kementan Tanggung Sewa "Private Jet" SYL Rp 1 Miliar

Nasional
Pejabat Kementan Tanggung Kebutuhan SYL di Brasil, AS, dan Arab Saudi

Pejabat Kementan Tanggung Kebutuhan SYL di Brasil, AS, dan Arab Saudi

Nasional
Gubernur Maluku Utara Akan Didakwa Terima Suap dan Gratifikasi Rp 106,2 Miliar

Gubernur Maluku Utara Akan Didakwa Terima Suap dan Gratifikasi Rp 106,2 Miliar

Nasional
MK Jadwalkan Putusan 'Dismissal' Sengketa Pileg pada 21-22 Mei 2024

MK Jadwalkan Putusan "Dismissal" Sengketa Pileg pada 21-22 Mei 2024

Nasional
Mahfud Ungkap Jumlah Kementerian Sudah Diminta Dipangkas Sejak 2019

Mahfud Ungkap Jumlah Kementerian Sudah Diminta Dipangkas Sejak 2019

Nasional
Tanggapi Ide Tambah Kementerian, Mahfud: Kolusinya Meluas, Rusak Negara

Tanggapi Ide Tambah Kementerian, Mahfud: Kolusinya Meluas, Rusak Negara

Nasional
[POPULER NASIONAL] Perbandingan Jumlah Kementerian Masa Megawati sampai Jokowi | Indonesia Kecam Serangan Israel ke Rafah

[POPULER NASIONAL] Perbandingan Jumlah Kementerian Masa Megawati sampai Jokowi | Indonesia Kecam Serangan Israel ke Rafah

Nasional
Tanggal 12 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 12 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Tanggal 11 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 11 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com