"Kalau kami melihat, institusi DPR ini sangat mudah diintervensi oleh swasta, apalagi swasta asing," kata Fadli seusai sidang di Semarang, Jawa Tengah, Kamis (10/12/2015).
Bagi Fadli, lembaga DPR semestinya bisa lebih kuat dalam menanggapi isu-isu miring yang muncul. Terlebih lagi, isu yang muncul berawal dari pembicaraan secara informal, yang kemudian digiring untuk menjurus ke salah satu sosok tertentu, dalam hal ini Setya Novanto.
"Itu hanya digiring saja. Coba gunakan hati nurani. Orang politik kaliber nasional itu ngobrol bawa Presiden, menteri, itu hal biasa. Saya juga sering pakai itu," kata Wakil Ketua Umum Partai Gerindra ini.
Fadli meyakini, koleganya, Setya, tidak pernah melakukan perbuatan "hina" meminta saham dengan menggadaikan jabatannya.
Hal tersebut kemudian terkonfirmasi dari pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said.
Menyitir kata Sudirman, Fadli meyakini tidak ada pencatutan nama Presiden, apalagi meminta saham PT Freeport yang dilakukan Ketua DPR.
"Baik sebagai Ketua DPR maupun dalam kapasitas lainnya tidak pernah. Kalau itu dianggap ada, yang nyatakan orang lain," kata Fadli.
"Kalau saya nangkap-nya itu semacam saran. Yang mengatakan itu pengusaha, bukan Setya. Itu juga obrolan warung kopi yang tidak ada follow up-nya," kata dia lagi.
Terkait dengan permintaan saham, Fadli menganggap isu tersebut mengada-ada. Pasalnya, tidak pernah ada saham yang dibagikan hanya melalui pembicaraan yang informal.
"Saham ini tidak mudah, dialokasikan saja susahnya setengah mati," kata dia.
Kritik Jaksa Agung
Fadli juga mengkritik keagresifan dari Jaksa Agung Muhammad Prasetyo untuk menelusuri upaya pemufakatan dalam perkara ini.
Kejaksaan dinilai lebih berperan mengusut urusan politik ketimbang hukum. "Kejaksaan sudah out proporsional. Yang gak ada akhirnya dicari-cari. Kejaksaan aneh karena gak ada darurat, tetapi menerima dirut PT asing pada tengah malam pukul 00.15 WIB," kata Fadli.
"Itu hebat sekali. Saya angkat topi kalau bisa diterapkan seluruh warga negara. Persoalan ini agak ganjil dan ini ada konspirasi. Ini pasti politik, bukan hukum," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.