Alasan utama, lanjut Aradila, hakim Tipikor adalah ujung tombak pemberantasan korupsi. Oleh sebab itu, hakim Tipikor harusnya tidak mempunyai rekam jejak yang bermasalah.
Selama ini, seleksi hakim Tipikor hanya diurus internal MA. Parahnya, MA tidak membuka informasi soal seleksi hakim Tipikor sehingga tidak banyak orang yang mengetahuinya.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Mico Susanto Ginting yang juga turut dalam koalisi menambahkan, kredibilitas dan 'kebersihan' hakim Tipikor saat diperlukan. Hal itu dipercayai berhubungan erat dengan putusannya kelak terhadap terdakwa korupsi.
Dakwaan hakim terhadap koruptor periode terakhir dinilai masih sangat rendah sehingga tidak menimbulkan efek jera. Data ICW selama semester I di tahun 2015, ada 193 perkara korupsi dengan 230 terdakwa yang telah diadili, baik di tingkat pertama (Pengadilan Tindak Pidana Korupsi), banding (Pengadilan Tinggi) atau pun kasasi serta peninjauan kembali (Mahkamah Agung).
Dari jumlah itu, 163 terdakwa (70,9 persen) dihukum dalam rentang satu sampai empat tahun yang merupakan vonis minimal.
Hanya 24 terdakwa divonis dengan rentang waktu sedang dan hanya tiga terdakwa yang divonis maksimal oleh majelis hakim pengadilan.
Ada pun 38 terdakwa divonis bebas dan vonis dua terdakwa lain tidak teridentifikasi.
"Nah, harusnya seleksi hakim ini menjadi awal perbaikan itu. Tapi kami tidak menemukan keseriusan MA dalam menyeleksi calon hakim Tipikornya. Kami melihat MA hanya seperti menjalani rutinitas saja, ooh ada seleksi hakim Tipikor, sekedar memenuhi kuota," ujar Mico.
MA saat sedang merekrut hakim ad hoc Tipikor 2015. Koalisi Pemantau Peradilan, menjadi salah satu kelompok masyarakat yang diminta menelusuri rekam jejak calon-calon hakim.
Saat ini, ada 58 calon hakim yang lolos dari tahap seleksi tertulis. Masih ada tahap seleksi, antara lain tahap penelusuran rekam jejak yang dilakukan koalisi, profile assessment dan wawancara.