Oleh: Albert Hasibuan
JAKARTA, KOMPAS - Ternyata, perhatian pengguna media sosial tentang revolusi mental—selama 10 bulan pemerintahan Jokowi-JK bekerja—cukup besar. Menurut survei harian ini (Kompas, 3/8/2015) pada sembilan bulan terakhir, 66,2 persen positif dan 33,8 persen negatif.
Saya tidak akan memberikan penilaian terhadap hasil survei ini, tetapi ingin sekadar mendalami apa yang saya ketahui, tentang revolusi mental itu dan apa konsekuensinya. Saya ingat, ketika Joko Widodo dan Jusuf Kalla dalam kampanye Pemilu 2014 berbicara tentang revolusi mental, yang dimaksud adalah suatu mental baru yang sudah mengalami perubahan drastis.
Mental baru itu adalah a new mindset yang mampu menggerakkan orang untuk, secara maksimal, menyukseskan program pemerintahan Jokowi-JK yang dinamakan Nawacita. Sudah tentu, mental baru ini berbeda dengan mental biasa yang belum mengalami perubahan. Dengan penafsiran logis, tidak ada atau absennya mental baru itu, keberhasilan visi dan misi dalam program Nawacita pemerintahan Jokowi-JK kemungkinan akan mengalami hambatan besar.
Reformatif populistik
Pertanyaannya: apa yang menyebabkan Jokowi-JK mensyaratkan mental baru itu? Seberapa penting a new mindset yang disebut revolusi mental? Untuk menjawab ini, ada dua faktor. Pertama, saya perkirakan Presiden Joko Widodo danWakil Presiden Jusuf Kalla telah memahami apa yang diterangkan Samuel Huntington, ahli politik dari Universitas Harvard, AS.
Pada akhir 1960-an, Huntington mengatakan bahwa penyebab fundamental dari instabilitas sosial dan politik di negara-negara berkembang adalah perubahan cepat dari masyarakat. Ekspektasi dan keinginan rakyat berkembang secara cepat, menyebabkan suatupemerintahan mengalami kesulitan untuk memenuhinya.
Sebagai contoh adalah pengalaman Indonesia tahun 1998, di mana tidak bisa dipenuhinya keinginan dan harapan rakyat menyebabkan terjadi instabilitas sosial dan politik. Masyarakat Indonesia, waktu itu, menginginkan perubahan ke arah politik baru yang terbuka dan demokratis. Akan tetapi, karena pada waktu itu pemerintah tidak bisa memenuhinya, Presiden Soeharto terpaksa mengundurkan diri dan kemudian lahir era reformasi.
Faktor kedua, berkaitan dengan gejala perubahan nilai dan mental dari rakyat di dunia. Hal ini adalah gejala perubahan sosiologis dari nilai dan mental rakyat. Suatu lembaga survei nilai-nilai dunia (World Values Survey) pernah mengatakan bahwa ada perubahan nilai dan mental dari rakyat di dunia yang disebabkan oleh konsensus global tentang pentingnya otonomi individu dan kesamaan jender, serta ketidaksetujuan atau intoleran terhadap otoritarianisme.
Fenomena ini juga terjadi di masyarakat Indonesia. Misalnya, kini banyak perhatian ditujukan pada nilai kemanusiaan dan keadaban moral, berkembangnya nilai etis sesuai prinsip hak asasi manusia (HAM), perubahan nilai yang didasarkan pada norma keadilan, adanya semangat antikorupsi yang besar, dan sebagainya.