Dengan demikian, berdasarkan kedua faktor ini, menurut saya, Jokowi-JK bertekad menyukseskan program lima tahun Nawacita—dengan sembilan agenda prioritas pemerintahnya—dengan bekal mental yang baru. Masalahnya sekarang, sampai di mana mental baru itu sudah dipahamidan mulai dilaksanakan oleh masyarakat? Apakah masyarakat paham bahwa keberhasilan program Nawacita akan sangat bergantung pada mental yang baru tersebut?
Sehubungan ini, saya perhatikan, Jokowi-JK telah terlebih dulu melakukan penyesuaian terhadap bentuk kepemimpinannya. Bentuk kepemimpinannya itu saya sebut kepemimpinan reformatif yang populistik.
Contoh kepemimpinan dimaksud diwujudkan dengan mempergunakan metode blusukan yang populer di kalangan rakyat dan komunikasi serta ungkapan-ungkapan yang kritis dan aspiratif. Pertanyaannya: mengapa perlu penyesuaian dengan bentuk kepemimpinan ini? Saya rasa karena Jokowi-JK memerlukan mobilisasi rakyat berdasarkan kekuatan kepercayaan dalam perjuangan kolaboratif berdasarkan perubahan dan pembaruan mental untuk menyukseskan program Nawacita tersebut.
Tiga indikasi
Sayangnya, penyesuaian kepemimpinan ini tidak diikuti dengan perkembangan di masyarakat. Selama 10 bulan pemerintahannya,masyarakat—terutama di birokrat pemerintahan dan kaum politisi serta kalangan penegak hukum—masih terbatas pemahaman dan pelaksanaannya. Salah satu sebabnya adalah adanya tendensi untuk mempertahankan mental yang biasa dan belum berubah. Mental yang cenderung melawan (inertia) yang bersifat busines as usual.
Indikasinya, di bidang birokrasi pemerintahan, masih tampak adanyapraktik-praktik yang menimbulkan kekacauan manajemen pemerintahan. Juga kebijakan-kebijakan yangtidak sinkron dan tepat, tindakan koruptif dan pelanggaran hukum. Contohnya, kejadian akhir-akhir ini, yaitu korupsi birokrasi tentang waktu bongkar muat (dwelling time) di pelabuhan.
Meski demikian, di pihak lain, saya akui ada elemen-elemen masyarakat—dalam hal ini masyarakat sipil—yang telah mempraktikkan mental baru untuk meningkatkan suksesnya pemerintahan bersih dan efektif. Isu-isu HAM, antikorupsi, pemborosan, dan ketidaktepatan anggaran pemerintah, pemikiran tentang sistem pemilu, dan lain-lain telah diangkat oleh Kontras, Komnas HAM, Setara, ICW, Formappi, dan sebagainya.
Sehubungan dengan hal tersebut, saya pun paham mengapa ada suara-suara yang menghendaki suatu perubahan atau reshuffle di birokrasi pemerintahan. Masyarakat saat ini cenderung menghendaki pejabat birokrasi pemerintahan berdasarkan keahlian serta integritas, bukanpejabat yang berasal dari orang yang dekat kekuasaan.