Di bidang politik, saya perhatikan sebagian politisi (anggota DPR) masih terkait dengan kategori seperti yang dikemukakan seorang sosiolog Jerman, Max Weber. Dia mengatakan, para politisi itu lebih menginginkan kekuasaan, apakah sebagai cara untuk mencapai tujuan ideal atau yang berpusat pada dirinya, atau lebih menginginkan kekuasaan demi kekuasaan, demi menikmati suatu prestise yang diberikan kekuasaan itu.
Pernyataan ini, terutama kekuasaan demi kekuasaan untukprestise, menyadarkan kita bahwa para politisi itu masih kurang pemahaman dan kesadaran terhadap mental yang baru itu. Karena itu, para politisi itu enggan melakukan hal-hal yang tepat dan rasional sesuai fungsinya seperti diharapkan konstituennya.Malahan, tugas primer anggota DPR untuk hadir di sidang pleno DPR sering tidak dipenuhi dan menjadi politisi yang mengejar uang dengan tindakan-tindakan koruptif dan sebagainya.
Demikian juga di kalangan penegakan hukum dengan maraknya praktik-praktik mafia pengadilan yang menjadikan hukum kehilangan wibawa di mata masyarakat. Hukum oleh masyarakat dianggap kurang memberikan rasa keadilan.
Berdasarkan tiga fakta ini, saya pikir, pemerintah—dalam hal ini Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla—sudah saatnya lebih aktif mengembangkan pemahaman dan kesadaran tentang revolusi mental kepada masyarakat agar program Nawacita berhasil.
Albert Hasibuan
Anggota Dewan Pertimbangan Presiden periode 2012-2014
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 September 2015, di halaman 7 dengan judul "Revolusi Mental dan Konsekuensinya".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.