Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Polri: Bukti untuk Jerat Denny Indrayana Kuat, "Ngapain" Pusing-pusing...

Kompas.com - 01/04/2015, 13:43 WIB
Fabian Januarius Kuwado

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com
 — Kepala Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Anton Charliyan tidak ambil pusing atas bantahan yang dilontarkan pihak Denny Indrayana soal kasus payment gateway. Dia menegaskan, penyidik memiliki bukti kuat untuk menjerat mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia itu.

"Alat bukti kami untuk menjerat tersangka itu kuat. Jadi, ngapain pusing-pusing soal itu," ujar Anton di Mabes Polri, Jakarta, Rabu (1/4/2015) siang.

Anton menegaskan, penyidiknya tak mungkin menetapkan seseorang menjadi tersangka jika tanpa didasari alat bukti yang cukup. Bahkan, penyidik juga tengah membidik pihak lain dalam kasus tersebut. Hanya, dia tak bersedia menyebutkan lebih jauh soal itu.

Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Kombes Rikwanto menambahkan, bukti-bukti yang menguatkan antara lain surat rekomendasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahwa sistem payment gateway punya risiko hukum jika dijalankan.

Selain itu, penyidik menemukan bukti bahwa Denny melakukan penunjukan langsung dua vendor untuk menjalankan sistem payment gateway. Dua vendor itu membuka rekening dan menghimpun dana pemohon paspor di rekening itu. (Baca Denny Indrayana Bantah Tunjuk Langsung Dua Vendor "Payment Gateway").

"Jadi, uang itu mengendap di rekening itu dulu, baru diserahkan ke kas negara. Ini yang jelas melanggar," ujar Rikwanto.

Denny akan menjalani pemeriksaan keduanya sebagai tersangka pada Kamis (2/4/2015) besok. Setelah pemeriksaan Denny, penyidik juga akan memeriksa pihak vendor. (Baca: KPK Pernah Peringatkan Denny Indrayana soal Risiko Hukum "Payment Gateway")

Sebelumnya, melalui kuasa hukum, Denny protes atas penetapan tersangka itu. Dia menuding tujuan penyidikan atas dirinya bukan penegakan hukum, melainkan aksi membungkam pegiat antikorupsi.

"Konteks kasus ini dilatarbelakangi sikap kritis Denny yang membela KPK dan mengkritik Budi Gunawan dan korps kepolisian. Selain kasus ini, ada beberapa laporan polisi ke Denny Indrayana yang tiba-tiba muncul setelah ia menunjukkan sikap kritis membela KPK. Salah satunya mengenai pernyataan 'jurus mabuk' Budi Gunawan," ujar Denny melalui surat yang diberikan ke kuasa hukum.

Denny melihat kriminalisasi terhadap dirinya berdasarkan rangkaian proses penyelidikan dan penyidikan yang janggal. (Baca: JK: Denny Pendekar Hukum, Otomatis Harus Sesuai Hukum)

Pertama, penyidikan dilakukan tanpa penyelidikan. Ini dapat dilihat dari waktu yang sama antara pembuatan laporan polisi dan surat perintah penyidikan, yakni 24 Februari 2015.

Kedua, penyidik dianggap terlambat memberi surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) ke penuntut umum. Sebab, tidak mungkin SPDP diterima penuntut pada hari yang sama dengan dibuatnya laporan.

Hal ini dianggap melanggar Pasal 109 ayat (1) KUHP dan Pasal 25 ayat (1) Perkap Nomor 14 Tahun 2012.

Ketiga, penyidikan terhadap Denny dinilai prematur. Salah satu pasal yang disangkakan ke Denny adalah Pasal 55 KUHP, yakni menyuruh atau memfasilitasi tindak pidana sehingga mestinya ada penetapan tersangka yang lain terlebih dahulu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 11 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 11 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Demokrat Anggap Rencana Prabowo Tambah Kementerian Sah Saja, asal...

Demokrat Anggap Rencana Prabowo Tambah Kementerian Sah Saja, asal...

Nasional
Indonesia Digital Test House Diresmikan, Jokowi: Super Modern dan Sangat Bagus

Indonesia Digital Test House Diresmikan, Jokowi: Super Modern dan Sangat Bagus

Nasional
Menko Polhukam Harap Perpres 'Publisher Rights' Bisa Wujudkan Jurnalisme Berkualitas

Menko Polhukam Harap Perpres "Publisher Rights" Bisa Wujudkan Jurnalisme Berkualitas

Nasional
Saksi Sebut Kementan Beri Rp 5 Miliar ke Auditor BPK untuk Status WTP

Saksi Sebut Kementan Beri Rp 5 Miliar ke Auditor BPK untuk Status WTP

Nasional
Kasus Dugaan Asusila Ketua KPU Jadi Prioritas DKPP, Sidang Digelar Bulan Ini

Kasus Dugaan Asusila Ketua KPU Jadi Prioritas DKPP, Sidang Digelar Bulan Ini

Nasional
Gubernur Maluku Utara Nonaktif Diduga Cuci Uang Sampai Rp 100 Miliar Lebih

Gubernur Maluku Utara Nonaktif Diduga Cuci Uang Sampai Rp 100 Miliar Lebih

Nasional
Cycling de Jabar Segera Digelar di Rute Anyar 213 Km, Total Hadiah Capai Rp 240 Juta

Cycling de Jabar Segera Digelar di Rute Anyar 213 Km, Total Hadiah Capai Rp 240 Juta

Nasional
Hindari Konflik TNI-Polri, Sekjen Kemenhan Sarankan Kegiatan Integratif

Hindari Konflik TNI-Polri, Sekjen Kemenhan Sarankan Kegiatan Integratif

Nasional
KPK Tetapkan Gubernur Nonaktif Maluku Utara Tersangka TPPU

KPK Tetapkan Gubernur Nonaktif Maluku Utara Tersangka TPPU

Nasional
Soal Kemungkinan Duduki Jabatan di DPP PDI-P, Ganjar: Itu Urusan Ketua Umum

Soal Kemungkinan Duduki Jabatan di DPP PDI-P, Ganjar: Itu Urusan Ketua Umum

Nasional
Kapolda Jateng Disebut Maju Pilkada, Jokowi: Dikit-dikit Ditanyakan ke Saya ...

Kapolda Jateng Disebut Maju Pilkada, Jokowi: Dikit-dikit Ditanyakan ke Saya ...

Nasional
Jokowi dan Prabowo Rapat Bareng Bahas Operasi Khusus di Papua

Jokowi dan Prabowo Rapat Bareng Bahas Operasi Khusus di Papua

Nasional
Kemenhan Ungkap Anggaran Tambahan Penanganan Papua Belum Turun

Kemenhan Ungkap Anggaran Tambahan Penanganan Papua Belum Turun

Nasional
PAN Minta Demokrat Bangun Komunikasi jika Ingin Duetkan Lagi Khofifah dan Emil Dardak

PAN Minta Demokrat Bangun Komunikasi jika Ingin Duetkan Lagi Khofifah dan Emil Dardak

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com