REFORMASI sektor hukum selama 10 tahun (2004-2014) terakhir meninggalkan banyak jejak buruk.
Di masa itu terjadi kriminalisasi terhadap pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Chandra M Hamzah dan Bibit S Rianto (2009-2010), atau lebih dikenal dengan istilah ”cicak vs buaya”. Pada tahun 2012 terjadi ”penyerangan” oleh sekelompok pasukan dari Polri ke KPK dengan alasan untuk menangkap salah seorang penyidik KPK yang diduga melakukan tindak pidana.
Kedua peristiwa tersebut berakhir melalui penetapan hukum (SKPP), tetapi ada juga yang berakhir begitu saja. Apa pun itu, publik cukup baik mengingat peristiwa tersebut sebagai praktik penegakan hukum yang cacat.
Pengalaman ini telah menjadi catatan buruk bagi institusi penegak hukum konvensional yang ada di bawah kekuasaan Presiden (kepolisian dan kejaksaan). Selama 10 tahun (2003-2014) KPK berdiri ternyata belum banyak mengubah karakter penegakan hukum yang buruk tersebut.
Merawat KPK
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menghadapi situasi politik (parlemen) yang kurang menguntungkan terkait penguatan lembaga KPK. Tekanan politik ini akan semakin menguat jika Presiden mengambil pilihan untuk bersikap ”netral”, seperti pernah dilakukan rezim sebelumnya. Pada masa itu, dukungan publiklah yang justru paling dominan dalam mendukung kerja KPK.
Jika membaca dokumen visi misi yang pernah disampaikan oleh Presiden Jokowi, setidaknya ada dua prioritas utama yang meneguhkan posisi Presiden dalam menyokong kerja KPK. Pertama, adanya komitmen untuk tetap menjaga keberlangsungan KPK dalam upaya pemberantasan korupsi. Kedua, memastikan sinergi di antara kejaksaan, kepolisian, dan KPK.
Perdebatan tentang kelembagaan KPK yang bersifat sementara telah lama diembuskan oleh politisi di DPR. Bahkan, di antara mereka kini ada yang menduduki jabatan struktural di partai dan dalam jajaran pimpinan DPR.
Jika posisi politik parlemen kurang menguntungkan dalam menjaga keberlangsungan KPK, maka posisi Presiden akan menjadi tameng terakhir. Dalam konteks ini, ada beberapa kewenangan Presiden yang bisa dijadikan alat untuk ”merawat” KPK.
Proses seleksi pimpinan KPK jadi penentu awal untuk menjaga agar KPK tidak digembosi oleh kalangan internalnya sendiri. Presiden memegang mandat penuh untuk melakukan seleksi melalui panitia seleksi ) terhadap calon pimpinan KPK yang akan diserahkan kepada DPR.
Jika Presiden memilih calon yang kadar integritas dan kapasitasnya baik, DPR tidak punya pilihan untuk tidak memilih calon tersebut. Namun, akan sangat berisiko bagi KPK jika Presiden justru meloloskan calon yang berpotensi kuat menggembosi KPK dari dalam.
Dalam konteks legislasi, keberadaan KPK juga terancam jika DPR mengusulkan undang-
undang yang melucuti kewenangan KPK atau bahkan membubarkan KPK. Situasi ini mungkin saja terjadi jika mayoritas kelompok politik di parlemen semakin terancam dengan kerja-kerja KPK.
Kuasa legislasi Presiden telah didesain sedemikian rupa untuk mengimbangi dominasi DPR dalam pembentukan UU. Sekalipun DPR yang memegang kuasa pembentukan UU, dalam prosesnya wajib mendapatkan persetujuan bersama.
Pengalaman buruk yang pernah dilakukan rezim terdahulu terkait penyusunan UU Pilkada menyisakan ”trauma” di mana kuasa legislasi Presiden ”dikebiri” oleh Presiden sendiri. Pemerintah melakukan ”bunuh diri” legislasi karena tidak punya posisi terhadap UU Pilkada.